LAPORAN AWAL
KASUS WAMENA
4 APRIL 2003
OLEH
KOALISI LSM
Untuk
PERLINDUNGAN DAN
PENEGAKAN HAM
DI PAPUA
JAYAPURA, 6 MEI 2003
PENDAHULUAN
Tim Koalisi LSM untuk Perlindungan dan Penegakkan Hak Asasi
Manusia di Papua, merupakan tim kemanusiaan yang dibentuk di Jayapura dan di
Wamena, Tanah Papua dalam rangka menanggapi peristiwa penyerangan gudang
senjata milik Kodim 1702/Wamena oleh kelompok orang tak dikenal pada 4 April
2003 yang menewaskan dua anggota TNI Kodim Wamena : Kapten (Inf.) TNI-AD
Napitupulu dan Sersan Dua TNI-AD Ruben Wana, serta menewaskan salah satu
anggota penyerang dan melukai yang lainnya. Tim Koalisi ini beranggotakan : Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Papua, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan
Jayapura, Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELsHam) Papua, Komisi
Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KONTRAS) Papua, Aliansi Demokrasi untuk
Papua (ALDP), Koalisi Perempuan Papua, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM) Jakarta, dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI)
Jakarta.
Tim Koalisi telah memulai pekerjaannya dengan mengadakan
jumpa pers sebagai tanggapan atas peristiwa penyerangan tersebut, pada tanggal
4 April 2003 di Jayapura. Isi jumpa pers terlampir. Kemudian untuk mendukung
efektifitas kerja dari Tim Koalisi, telah diupayakan dengan meminta perhatian
dan dukungan dari para Pemimpin-Pemimpin Agama di Tanah Papua yang ada di Jayapura
sebagaimana yang direkomendasikan dalam salah satu pernyataan sikap para
Pemimpin Agama sebagaimana terlampir.
Selain mengangkat persoalan Wamena di Jayapura, Tim Koalisi
LSM juga mengadakan kunjungan kerja ke Wamena. Tim Koalisi yang berkunjung ke
Wamena terdiri dari : Sdr. Demianus Wakman, SH dari LBH Papua, Sdr. Iwan Niode,
SH dari ALDP dan Sdri. Frederika Korain, SH dari SKP Keuskupan Jayapura.
Adapun tugas-tugas yang disepakati untuk dijalankan oleh Tim
Koalisi adalah :
[1] Melakukan pengamatan (monitoring) situasi kemasyarakatan
pasca peristiwa penyerangan gudang senjata milik Kodim 1702/Wamena yang
kemudian diikuti dengan penyisiran oleh TNI/Polri ke perkampungan masyarakat di
kota Wamena dan sekitarnya dalam rangka mencari para penyerang dan senjata
serta amunisi yang dirampas dalam penyerangan tersebut;
[2] Melakukan investigasi terhadap peristiwa penyerangan
gudang senjata tersebut guna mengetahui duduk soal yang sebenarnya;
[3] Melakukan investigasi terhadap berbagai operasi
penyisiran yang dilakukan aparat dan dampak yang timbul di masyarakat; dan
[4] Memberi pendampingan hukum terhadap anggota masyarakat
dan juga bila perlu anggota TNI yang dijadikan tersangka dalam peristiwa
penyerangan ini.
2
Selain tim kerja yang terbentuk di Jayapura, setiap anggota
Tim Koalisi telah mendorong perwakilannya yang berada di Wamena untuk membentuk
jaringan kemanusiaan yang sama di tingkat Wamena, dengan membuka kemungkinan
bagi pribadi atau institusi diluar organisasi perwakilan yang ingin melibatkan
diri dalam kerja-kerja advokasi yang sama di Wamena. Dalam perkembangannya
keberangkatan anggota Tim Koalisi dari Jayapura telah membantu mengefektifkan
jaringan di Wamena dalam kerja pengamatan dan penelitian selama hampir dua
minggu di lapangan.
Tim Koalisi menjalankan tugas di Wamena sejak tanggal 16 –
29 April 2003. Pekerjaan yang dilakukan di Wamena bersama jaringan lokal adalah
pengamatan (monitoring) situasi didalam kota Wamena, pengamatan di
daerah-daerah pinggiran kota Wamena yang menjadi sasaran penyisiran oleh aparat
keamanan, dan mengikuti dengan cermat perkembangan penanganan para tersangka
yang telah berada di tahanan Polres Wamena oleh aparat kepolisian setempat.
Selain melakukan pemantauan terhadap situasi di Wamena dan sekitarnya, Tim
Koalisi juga berupaya bertemu dengan sejumlah pihak atau institusi yang
diyakini dapat memberikan pandangannya atas peristiwa penyerangan gudang
senjata milik Kodim Wamena maupun tindakan-tindakan penyisiran yang dilakukan
aparat pasca penyerangan, termasuk penangkapan dan penahanan terhadap anggota
masyarakat yang kemungkinan diduga terlibat didalam aksi penyerangan tersebut
guna mendapatkan data dan informasi yang lebih akurat.
Dalam pertemuan-pertemuan dengan para Muspida Kabupaten
Jayawijaya, disampaikan tentang maksud dan tujuan kehadiran tim kerja Koalisi
LSM, baik yang berasal dari Jayapura maupun jaringan lokal di Wamena guna
menghindari kesan yang negatif terhadap keberadaan Tim. Pertemuan tersebut
antara lain dilakukan dengan :
[1] Kapolres Jayawijaya di Wamena, Drs. AKBP. Agung Makbul,
SH. Pertemuan berlangsung pada Rabu, 16 April 2003 bertempat di ruang Mapolres
Wamena. Dalam pertemuan Tim memberitahukan tujuan kerja Tim Koalisi di Wamena,
sekaligus meminta dukungan kepolisian terhadap berbagai kegiatan pengamatan dan
pengumpulan data yang akan dilakukan Tim, baik di kota Wamena maupun
daerah-daerah yang terkena penyisiran oleh aparat. Selain itu, ditanyakan juga
mengenai kronologi penyerangan 4 April yang diketahui polisi dan meminta
informasi mengenai kondisi lima orang tersangka yang sedang diselidiki oleh
Polres Jayawijaya di Wamena setelah pada hari sebelumnya (15 April 2003)
diserahkan oleh Pihak Kodim 1702/Wamena. Kepada Kapolres Tim menawarkan bantuan
pendampingan hukum bagi para tersangka yang ada maupun para tersangka lainnya
bila ada penambahan.
[2] Tanggal 17 April 2003, Tim melakukan pertemuan dengan
Kepala Kejaksaan Negeri Wamena, Bp. Rumrar, SH. Dalam pertemuan dimintai
keterangan mengenai ketentuan pidana mana saja yang sudah direncanakan akan
dikenakan terhadap para tersangka. Hal ini dimaksudkan agar Tim dapat
menyiapkan materi hukum yang dibutuhkan dalam pendampingan bagi para tersangka
nantinya.
3
[3] Pada tanggal yang sama, 17 April, Tim melakukan
pertemuan dengan Wakil Bupati Jayawijaya, Budiman Kogoya, SE bertempat di ruang
kerjanya di Kantor Pemda Kabupaten Jayawijaya, Wamena. Dalam pertemuan ini
selain diinformasikan mengenai keberadaan Tim Koalisi, kepada Wakil Bupati
dimintai keterangan mengenai posisi Pemerintah Daerah Jayawijaya dalam menyikapi
peristiwa 4 April 2003 dan khususnya penyisiran-penyisiran yang menimbulkan
ketakutan warga masyarakat di beberapa tempat. Tim juga menanyakan bentuk
hubungan antara pihak militer di Wamena dan Pemda dalam kaitannya dengan
berbagai kebijakan yang dilakukan pihak TNI setelah penyerangan tersebut.
[4] Hari Sabtu, 19 April 2003 Tim melakukan pertemuan dengan
Komandan Distrik Militer (Kodim) 1702 / Wamena, Letkol. (Kav). TNI-AD
Masrumsyah dan Komandan Korem Jayapura, Kol. (Inf) TNI-AD Agus Mulyadi. Tim sempat
melakukan peninjauan lokasi Kodim, gudang senjata yang diserang dan posisi dua
anggota Kodim saat tertembak hingga meninggal.
[5] Pertemuan dengan Kepala Distrik Wamena Kota, Agus
Kossay, M.Si.
Selain pertemuan dengan berbagai instansi tersebut diatas,
Tim juga melakukan pertemuan dengan berbagai kalangan masyarakat di kota
Wamena, para pimpinan Gereja yang dianggap memiliki informasi seputar peristiwa
penyerangan dan dampak yang terjadi sesudahnya. Tim juga melakukan peninjauan
ke lokasi-lokasi yang menjadi sasaran penyisiran oleh aparat keamanan
diantaranya : Napua-Welesi-Okilik dan sekitarnya; Musatfak; Elagaima, Kimbim
hingga Piramid; Wouma dan sekitarnya; Hepuba, Hitigima, Air Garam, Sogokmo;
Wesaput, Kama, Pikhe, Mumi; Sinakma, Honai Lama; sebagian wilayah Habema,
Gunung Susu, Walaik; sedangkan wilayah Kurima dan sekitarnya, perkampungan
disebelah dalam Danau Habema dan Kwiyawage yang belakangan menjadi sasaran
penyisiran, belum dapat dikunjungi karena Tim mengalami kesulitan mendapatkan
akses ke lokasi-lokasi tersebut yang sedang dikuasai oleh pasukan TNI, baik
dari Kostrad 413 / Samber Nyawa, Solo-Jawa Tengah dan gabungan pasukan
Kostrad-Kopassus yang baru didatangkan dari Jakarta pada 5 April 2003. Selain
kunjungan ke lokasi, sejumlah korban dan saksi juga datang melaporkan kejadian
yang mereka alami kepada Tim di Wamena.
Dalam kaitannya dengan upaya pendampingan hukum terhadap
para tersangka yang berada di tahanan Polres Wamena, Tim Koalisi mengalami
kesulitan yang cukup berarti untuk bertemu langsung dengan para tahanan;
kecuali hanya satu tersangka bernama Michael Heselo yang berhasil ditemui Tim
Koalisi di Wamena sebelum tersangka dialihkan untuk ditahan dan dilakukan
pemeriksaan hingga saat ini di Polda Papua, di Jayapura. Kondisi demikian turut
mempersulit upaya Tim dalam mengumpulkan bukti dan kesaksian yang diperlukan
guna memposisikan secara baik kronologi penyerangan pada 4 April lalu, termasuk
mengidentifikasi para pelaku yang sebenarnya sehingga membantu publik untuk
tidak hanya bersandar pada informasi yang disebarluaskan oleh pihak keamanan.
Dengan demikian, dalam laporan ini hanya dicantumkan secara singkat uraian
kejadian menurut versi aparat khususnya dari pihak Kodim Wamena. Masih banyak
data lainnya tentang kejadian tersebut yang perlu digali dari beberapa
4
orang diantara para tersangka, baik mereka yang berstatus
tahanan sipil yang kini ditahan di Polres Wamena dan satu orang lainnya yang
sedang ditahan di Polda Papua, maupun keterangan dari para tersangka militer
yang saat ini ditahan oleh Polisi Militer Kodam XVII/Trikora di Jayapura. Tim
Koalisi sedang berupaya untuk diijinkan melakukan pendampingan terhadap para
tersangka militer yang ada.
Untuk itu, dalam laporan investigatif awal ini, Tim berupaya
memaparkan sejumlah informasi dan kejadian yang berkembang pada saat sebelum
terjadinya peristiwa; seputar kejadian penyerangan itu sendiri; dan situasi
yang terjadi setelah penyerangan dalam hal ini mengenai operasi penyisiran ke
rumah dan kampung-kampung masyarakat, serta berbagai proses hukum terhadap
warga yang dilakukan pihak kepolisian maupun TNI. Semoga informasi yang tersaji
dapat membantu masyarakat luas untuk memahami dengan baik masalah penyerangan
gudang senjata milik Kodim 1702 Wamena pada tanggal 4 April 2003 yang lalu dan
diharapkan dapat membantu segala komponen masyarakat baik di Papua maupun
tempat-tempat lainnya yang bersimpati terhadap permasalahan tersebut agar
bersikap arif dan tergerak melakukan suatu langkah positif guna meminimalisir
berbagai dampak yang menhancurkan akibat peristiwa semacam ini yang ternyata
bermuara pada kesengsaraan masyarakat kebanyakan yang sebetulnya sama sekali
tidak mengehendaki terjadinya peristiwa tersebut.
5
RANGKUMAN
LAPORAN AWAL KASUS WAMENA APRIL 2003
Laporan ini disusun berdasarkan kunjungan lapangan Tim
Koalisi LSM selama 2 minggu (16-29 April 2003). Kunjungan diadakan sehubungan
dengan peristiwa pembongkaran gudang senjata Kodim 1702 / Wamena dan
dilakukannya operasi penyisiran dalam rangka mengejar pelaku serta senjata dan
amunisi yang dibawa lari para pelaku.
Laporan ini disusun untuk menjadi bahan dasar dalam
komunikasi dan diskusi dengan sejumlah pihak yang berkepentingan, diantaranya,
para Pemimpin Agama di Papua, Pimpinan Kodam XVII/Trikora, Pimpinan Polri di
Papua, dan dengan Pimpinan Pemda di Provinsi Papua.
Selama di Wamena dan sekitarnya Tim Koalisi berkesempatan
untuk bertemu dengan pelbagai instansi dan masyarakat, dan juga sempat
mengamati keadaan masyarakat di beberapa tempat.
ISI LAPORAN
Laporan Tim Koalisi terdiri dari 8 bagian dengan uraian
sebagai berikut :
Dalam Bagian I diberikan perhatian pada suasana
kemasyarakatan sebelum peristiwa 4 April 2003. Ternyata suasana dimaksud cukup
rawan sebagai akibat dari pelbagai faktor (ingatan traumatis akan peristiwa tahun
1977 dan tahun 2000; stigmatisasi yang diberlakukan oleh instansi Pemerintah
maupun Aparat Keamanan terhadap masyarakat dari Pegunungan Tengah sejak tahun
2000; pembentukan pelbagai kelompok milisi; dan kerawanan pemerintahan sipil
setempat, termasuk ‘perebutan kursi’ menjelang Pemilu 2004).
Dalam Bagian II merupakan suatu uraian kronologi dari
kejadian pembongkaran gudang senjata Kodim 1702/Wamena pada tanggal 4 Apri
2003; informasi ini sepenuhnya berdasarkan keterangan yang diberikan oleh pihak
Kodim 1702 / Wamena. Hasil peninjauan di tempat oleh Tim Koalisi juga
dicantumkan dalam bagian ini.
Dalam Bagian III diberikan perhatian pada “dugaan mengenai
siapa yang menjadi pelaku” dari aksi pembongkaran gudang senjata pada tanggal 4
April 2003, baik sejauh yang dikisahkan oleh Kodim 1702 / Wamena, maupun yang
dikisahkan oleh masyarakat biasa. Dalam bagian ini juga diulas tentang
siapa-siapa saja yang terlibat dalam operasi penyisiran dalam rangka mengejar
“pelaku pembongkaran gudang senjata dan senjata plus amunisi” yang mulai
dilaksanakan sejak tanggal 5 April 2003.
6
Bagian IV merupakan suatu gambaran yang detail mengenai
“pola operasi penyisiran” sebagaimana dilakukan oleh aparat keamanan. Secara
mendetil diberikan laporan mengenai terjadinya operasi tersebut di pelbagai
tempat. Ternyata operasi ditujukan kepada siapa saja yang ada di wilayah
tertentu tanpa membedakan antara yang diduga sebagai tersangka sehubungan
dengan peristiwa 4 April 2003 dan mereka yang hanya berstatus masyarakat biasa
saja. Dari pola penyisiran ini muncul pertanyaan: sebenarnya siapa saja yang
menjadi target dari operasi aparat keamanan ini? Yang menimbulkan keprihatinan
besar adalah kenyataan bahwa begitu mudah martabat warga masyarakat diinjak dan
harta miliknya dirampas atau dihancurkan oleh aparat keamanan dalam berbagai
penyisiran dimkasud. Yang juga menjadi pertanyaan mendasar adalah hubungan
kerjasama antara aparat keamanan dengan pelbagai kelompok milisi dalam berbagai
operasi penyisiran yang dilakukan di Wamena dan sekitarnya.
Dalam Bagian V diberikan suatu gambaran terperinci mengenai
sejumlah kegiatan penangkapan serta penyiksaan yang dilakukan oleh aparat
keamanan terhadap tersangka dan/atau warga masyarakat biasa. Kisah-kisah
penderitaan ini melengkapi gambaran “pola pengoperasian” yang sedang
diberlakukan di Wilayah Kabupaten Jayawijaya dan bagaimana masyarakat biasa
yang tidak bersalah turut menjadi korban. Dalam bagian ini juga diberikan data
mengenai proses penahanan para tersangka hingga tanggal 29 April 2003.
Dalam Bagian VI diberikan informasi sekitar kematian salah
seorang tahanan Kodim Wamena, yakni Sdr. Yapenas Murib. Sdr. Yapenas meninggal
dunia setelah berada dalam tahanan Kodim 1702 / Wamena, dan kematiannya
menimbulkan banyak pertanyaan. Yang dilaporkan adalah versi kejadian oleh Kodim
dan oleh sejumlah warga masyarakat maupun petugas Rumah Sakit Umum di Wamena.
Dalam Bagian VII dilaporkan mengenai upaya Tim Koalisi untuk
memberikan pendampingan hukum kepada para tersangka. Ternyata upaya ini cukup
dihalangi oleh pelbagai instansi, dan sampai saat ini pendampingan hukum para
tersangka masih mengalami gangguan yang berarti.
Dalam Bagian VIII dirumuskan sejumlah kesimpulan awal
beserta rekomendasi. Kesimpulan dan rekomendasi yang paling penting adalah
supaya segala kegiatan operasi oleh aparat keamanan serta kelompok milisi
dihentikan sambil memungkinkan adanya suatu investigasi yang independen,
obyektif, profesional dan transparan, oleh instansi yang dapat dipercaya oleh
semua pihak yang terlibat dan juga berkepentingan terhadap kasus Wamena ini.
7
BAGIAN I
SITUASI PRA-PERISTIWA 4 APRIL 2003
Kabupaten Jayawijaya memiliki luas wilayah sebesar 52.916
km² dengan jumlah penduduk sebanyak 400.130 jiwa. Ibu kotanya, Wamena sendiri
berpenduduk sekitar 44.512 jiwa, sedangkan jumlah penduduk selebihnya tersebar
di kecamatan-kecamatan yang mengelilingi ibukota tersebut (peta terlampir).
Kabupaten Jayawijaya saat ini telah dimekarkan kedalam tiga kabupaten baru
yakni Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara dan Kabupaten Pegunungan Bintang
di wilayah timur. Sedangkan Kabupaten Jayawijaya sendiri sudah dipersempit
meliputi Distrik : Wamena Kota, Kurima, Assologaima, Hubi Kossi, Kurulu,
Bolakme, Danime, Makki dan Distrik Tiom. Secara khusus desa-desa yang menjadi
bagian dari Distrik Wamena Kota adalah: Desa Wamena Kota, Minimo, Wouma, Honai
Lama, Welesi, Napua, Hitigima, Air Garam, Megapura, Wesapuk, Pugima, Hepuba dan
beberapa desa di daerah Pikke.
Sejarah Konflik di Lembah Baliem
Wilayah kabupaten dengan lembah terbesar ini sudah berulang
kali menjadi medan kerusuhan dengan dua peristiwa besar yang secara khusus akan
tetap diingat oleh setiap orang Wamena sebagai peristiwa yang sangat mengerikan
dan meninggalkan bekas yang traumatik dalam hati masyarakat, yakni [1]
peristiwa 1977, dan [2] peristiwa 7 Oktober 2000.
I.A. Dua peristiwa yang berbekas dalam hati penduduk
Pada tahun 1977 wilayah ini menjadi medan suatu operasi
militer besar-besaran (Operasi Tumpas) yang bertujuan untuk mengakhiri segala
kegiatan pemberontakan politik (OPM). Operasi ini berpusat pada bagian
pegunungan, dan kurang terlihat di Lembah Baliem sendiri. Dalam kerangka itu
banyak orang tewas – walau jumlahnya tidak pernah diketahui – dan para penduduk
ditinggalkan dalam suatu keadaan ketakutan yang luar biasa. Peristiwa ini tidak
pernah diinvestigasi secara baik, bahkan suatu dokumentasi mengenai operasi ini
serta akibatnya tidak pernah tersedia. Walau demikian semua penduduk tetap
mengingat tahun 1977 sebagai suatu pengalaman yang sangat pahit hingga dewasa ini.
Pada tahun 2000 (6 Oktober) sekali lagi wilayah ini menjadi
sangat rawan; kali ini kejadian berpusat pada Lembah Baliem dan Wamena. Suatu
operasi aparat keamanan dijalankan untuk membubarkan sejumlah Posko (tempat
kumpul kelompok-kelompok yang beraspirasi merdeka) dan menghentikan kegiatan
pengibaran bendera Bintang Kejora. Operasi ini akhirnya memuncak dalam suatu
kontak senjata antara aparat keamanan dan masyarakat setempat yang meninggalkan
puluhan orang mati dan ratusan orang meninggalkan Wamena (lebih-lebih penduduk
non-Papua); sedangkan masyarakat setempat berbondong-bondong mengungsi ke
tempat-tempat yang lebih aman. Suatu investigasi diadakan oleh Koalisi LSM dan
hasilnya
8
disampaikan kepada segala pihak yang berwajib.1 Duapuluhdua
(22) orang ditahan dan diadili, dan ternyata diberikan ‘Abolisi Presiden’
setelah satu setengah tahun ditahan dalam tahanan polisi.
I.B. Stigma penduduk Pegunungan Tengah
Seusai peristiwa di Abepura, Jayapura (Desember 2000)
penduduk Pegunungan Tengah diberikan stigma “pemberontak”. Stigma ini ramai
dipasang oleh kalangan Pemerintah Sipil maupun Aparat Keamanan pada masyarakat
yang bersangkutan berdasarkan dugaan bahwa merekalah yang ada dibelakang
peristiwa Abepura tersebut2. Akibat stigmatisasi ini penduduk Pegunungan Tengah
dengan semena-mena dituduh terlibat berbagai kegiatan ‘separatis’, dan hal
demikian bergema kembali dalam ungkapan Kapolres Jayawijaya saat ini, Drs.
Agung Makbul, SH dengan menyatakan (dalam pertemuannya dengan Tim Koalisi LSM
di Wamena pada 25 April 2003): “wilayah ini penuh dengan penjahat-penjahat”
(Kapolres Jayawijaya ini baru saja bertugas di Wamena selama satu bulan).
I.C. Pembentukan pelbagai kelompok para-militer
Seusai peristiwa 2000 dapat kami catat beberapa kegiatan
yang kurang membantu untuk memulihkan kembali keadaan di wilayah ini menjadi
aman dan tenteram. Yang sangat menarik perhatian, sekaligus meresahkan
masyarakat, adalah kegiatan kearah pembentukan kelompok-kelompok para-militer
(milisi).
[1] Pada 26 September 2001 Kodim 1702 Jayawijaya mengundang
kepala-kepala suku dan tokoh masyarakat – jumlahnya 200 orang dan mereka
didorong kuat untuk mendukung Otonomi di Papua; mereka diberikan suatu Piagam
Penghargaan Pejuang Merah Putih yang telah disiapkan oleh Kodim; piagam ini
menjadi jaminan kesejahteraan ekonomis pada suatu saat nanti. Dalam kesempatan
yang sama Dandim memberitahukan bahwa suatu Satgas Pembela Negara akan
terbentuk. Ternyata Satgas itu dibentuk pada awal bulan Oktober 2001 di Kodim
1702 Jayawijaya dengan jumlah anggota 170 anggota yang berasal dari empat
kecamatan terdekat, yaitu: Kecamatan Kurulu (52 orang), Kecamatan Assologaima
(50 orang), kecamatan Wamena Kota (50 orang) dan Kecamatan Kurima (18 orang).
Kegiatan Satgas ini a.l.: [1] latihan baris-berbaris, [2] apel pagi hari, [3]
upacara bendera setiap hari Senin bersama TNI di Kodim, Wamena, dan [4]
mendapatkan pelajaran pembelaan negara.
[2] Pada awal 2002 tercatat pembentukan Barisan Merah Putih
(BMP) oleh sejumlah tokoh Papua di Jakarta (termasuk mantan wakil Gubernur, J.
Djopari) dalam hubungan kerjasama dengan Yayasan Lembah Baliem. Programnya
sudah diatur rapih dan jaringannya sudah menjalar sampai di kampung-kampung.
Tujuannya untuk menjaga keintegrasian Papua dalam
1 Lihat laporan: “Peristiwa Tragedi Kemanusiaan Wamena, 6
Oktober 2000, Sebelum dan Sesudahnya “, sebuah laporan investigasi, oleh Tim
Kemanusiaan Wamena, Jayapura, Januari 2001.
2 lihat laporan KPP HAM: “Laporan Akhir Komisi Penyelidikan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia –KPP HAM- Papua/Irian Jaya”, Jakarta, 8 Mei 2001.
9
NKRI, dan menghilangkan segala kegiatan yang beraspirasi
kemerdekaan. Dalam kerangka inipun Kodim membentuk Satgas Merah Putih pada awal
2002. Suatu daftar keanggotaan Satgas Merah Putih ini tertanggal 8 April 2002
di atas kertas yang berkepala Komando Resor Militer 1702, menyebutkan 80
anggota yang semuanya berdomisili di Welesi.
[3] Didalam tubuh OPM/TPN sendiri mulai terbentuk
faksi-faksi. Salah satu contoh adalah Kodap XII Teluk Bin Mas West Papua yang
dipimpin oleh H. Welhelmusa Assoy (menurut gambar tongkat comando 5/2/2002),
sedangkan satu lain adalah TPN-OPM Kodap II Jayawijaya yang dipimpin oleh Yanto
Tabuni, Mikael Heselo dll. Kelompok terakhir ini menjadi sangat aktif menjelang
tanggal 1 Desember 2002, karena telah memutuskan untuk mengadakan pengibaran
bendera di Wamena pada tgl. 1 Desember. Kebijaksanaan demikian bertolak
belakang dengan kebijaksanaan oleh PDP maupun oleh kalangan TPN/OPM yang telah
menyatakan diri bergabung dalam suatu “perjuangan damai” di Papua ini.
[4] Unsur-unsur milisi lainnya yang disebut selama ini namun
informasi tentang kelompok tersebut masih kurang, adalah: Satgas Otonomi,
Satgas AMP-DEMMAK, dan Organisasi Pemuda Panca Marga (PPM) yang beranggotakan
para pensiunan TNI, Polisi dan anak-anak yang orang tuanya adalah anggota Dewan
Merah Putih di tahun 1969.
I.D. Kerawanan Pemerintah Sipil (Pemda Jayawijaya)
Bagi siapa saja yang mendengar suara rakyat di Kabupaten
Jayawijaya menjadi jelas bahwa gaya pemerintahan sipil di Kabupaten ini sangat
dikritik oleh masyarakat. Masyarakat merasa bahwa nasibnya kurang diperhatikan
oleh para pejabatnya (lebih-lebih pejabat tinggi serta anggota-anggota DPRD
Kabupaten) walau kebanyakan diantaranya adalah putera/i daerah. Kenyataan ini
tidak membantu untuk membuat masyarakat merasa percaya pada pemerintah dan
untuk mengharapkan supaya masa depannya lebih cerah. Sekaligus masyarakat
merasa bingung mengenai alternatif yang digemakan oleh PDP serta anggota Panel
yang merupakan wakilnya di wilayah ini. Maka, tidak mengherankan bahwa
masyarakat sangat frustrasi hingga mudah dapat dibujuk oleh siapa saja yang
ingin mengarahkan mereka demi tujuannya sendiri.
Dapat ditambah lagi bahwa akhir-akhir ini mulai terlihat
suatu perebutan kursi politik, menjelang berakhirnya masa jabatan Bupati, dan
menjelang Pemilu 2004. Tidak mengejutkan lagi kalau masyarakat asyik
membicarakan segala macam gerakan oleh para pejabat tinggi, lebih-lebih setelah
laporan pertanggungjawaban Bupati ternyata ditolak oleh beberapa anggota DPRD
Kabupaten. Penolakan ini mendorong pesaing-pesaing politiknya mulai mencoba
membangun kekuatan, berkoalisi dengan pihak yang seminat dan sekepentingan
untuk merebut jabatan bupati di daerah ini. Dalam hal ini kedekatan relasi
antara Wakil Bupati dan Dandim sering dikisahkan secara khusus oleh masyarakat.
Menurut informasi yang didapatkan oleh Tim Koalisi, dikatakan bahwa pada
tanggal 03 April 2003 atau malam sebelum kejadian, Dandim Wamena mengadakan
pertemuan tertutup dengan Wakil Bupati Budiman Kogoya bertempat dirumah
10
Wakil Bupati di Sinakma sejak pukul 20.00 – 24.00 wit.
Sewaktu kembali ke rumahnya di Kompleks Kodim, lewat satu jam terjadilah
penyerangan tersebut.
Kesimpulan
Melihat semua hal yang dicatat di atas ini, perlu
disimpulkan bahwa wilayah Baliem dan sekitarnya berada dalam suatu suasana yang
kurang menunjang terciptanya situasi kemasyarakatan yang stabil, aman, dan
damai. Atau dengan kata lain: suasana seperti digambarkan secara singkat di
atas ini sangat membuka kemungkinan terjadinya hal-hal yang sama sekali tidak
diinginkan seperti peristiwa tanggal 4 April 2003, yakni pembobolan gudang
senjata milik Kodim 1702 Jayawijaya di Wamena.
11
BAGIAN II
KRONOLOGI PENYERANGAN GUDANG SENJATA
KODIM 1702/ WAMENA
II.A. MENURUT PIHAK KODIM WAMENA
Kronologi penyerangan ini disampaikan oleh Komandan Kodim
1702/Wamena Letkol. TNI-AD Kav. Masrumsyah kepada Tim Koalisi LSM dalam
pertemuan di Markas Kodim Wamena hari Sabtu, 19 April 2003. Setelah pertemuan,
Tim diajak meninjau lokasi gudang penyerangan pada 4 April lalu.
Dandim menceriterakan bahwa penyerangan ke gudang senjata
Kodim terjadi pada pukul 01.00 wit, tgl. 4 April 2003. Para penyerang masuk ke
kompleks Kodim melewati arah samping gedung Taman Kanak-Kanak milik Kodim yang
berjarak sekitar 50 meter dari pos jaga dan sekitar 80 meter dari mesjid yang
menempel dengan gudang senjata. Gudang dijaga oleh satu orang saja (yang tidak
bersenjata).
Dalam keadaan gelap gulita, komandan jaga kompleks Kodim
mengamati cahaya senter dekat mesjid dan langsung bertanya, “siapa disitu?”;
namun tidak ada sahutan lalu komandan jaga mundur ke ruang jaga dan kemudian
terdengar tembakan dua kali dari arah gudang senjata. Komandan jaga pergi
membangunkan Dandim di rumahnya yang berada di belakang pos jaga dan anggota
piket yang lain membunyikan lonceng tanda bahaya. Bunyi lonceng tersebut
membuat anggota Kodim berlarian ke tempat asal tembakan tanpa senjata sebab
semua senjata yang dipegang anggota diperintahkan tersimpan didalam gudang
tersebut; hanya Dandim yang memegang senjata. Menurut keterangan Dandim,
anggota tidak memegang senjata; hanya sekitar sepuluh senjata yang berada di
tangan perwira dan bintara pelatih di lingkungan Kodim Wamena.
Dandim berlari menuju gudang senjata yang berjarak dari
rumahnya kurang lebih 100-an meter. Ia berdiri sekitar 4 meter didepan pintu
gerbang gudang senjata dan melihat pintu gudang dalam keadaan terbuka; lampu
dalam gudang menyala [hal ini aneh karena seluruh kompleks ternyata dalam
keadaan gelap gulita; bagaimana dengan lampu dalam gudang yang diterangkan
sedang menyala? apakah memiliki aliran tersendiri terlepas dari aliran kompleks
Kodim secara keseluruhan?] dan sempat melihat empat orang sedang memungut
senjata didalam gudang. Gembok pintu gudang dibuka dengan linggis. Pintu gudang
yang pertama berbahan kayu dan dikunci dengan dua lapis gembok, sedangkan pintu
kedua berbahan teralis besi. Dandim sendiri menembak salah seorang penyerang
hingga tewas di tempat. Dijelaskan bahwa saat menembak
12
penyerang yang pertama ini, posisi penyerang tersebut berada
persis didepan pintu gudang lapis pertama dari arah luar (pintu berbahan kayu)
sambil membawa beberapa buah senjata. Setelah ditembak, korban tidak langsung
rubuh ke lantai tapi terlihat oleh Dandim korban sempat bergerak masuk kembali
kedalam gudang senjata tersebut lalu mati. Ia memperkirakan jika sempat
menembak 3 orang penyerang lainnya yang sedang membawa lari senjata keluar dari
kompleks Kodim hingga luka parah. Salah satu diantaranya, Numbungga Telenggen
yang sudah diserahkan oleh Kodim ke kepolisian dan saat ini berada di tahanan
Polres Wamena. Menurut Dandim, saat Numbungga diinterogasi di Kodim, ia mengaku
tertembak pada saat dirinya sedang lari membawa senjata keluar dari kompleks
Kodim malam kejadian itu.
Para penyerang itu sendiri pada waktu melakukan penyerangan
di Markas Kodim Wamena, dengan bersenjatakan 1 (satu) buah senjata M 16 dan 2
(dua) buah senjata Moser (menurut Laporan Rekonstruksi tersangka Yapenas
Murib). Ketika dikonfirmasi kembali kepada Dandim, dikatakan bahwa senjata organik
milik TNI M 16 tersebut merupakan senjata yang dicuri oleh Kelompok TPN/OPM di
Ilaga (tahun kejadian tidak disebutkan).
Menurut Dandim tembak-menembak berlangsung selama hampir 25
menit dalam keadaan gelap gulita. Dirinya sempat mengejar para penyerang yang
lari membawa senjata, akan tetapi sempat diingatkan oleh anak buahnya bahwa
peluru yang ada dalam senjata yang dipegang oleh Dandim telah habis. Dandim
akhirnya membatalkan pengejaran dan pulang melewati rumah pertama dari barak
selatan perumahan perwira, diujung rumah tersebut Dandim mendengar jika
almarhum Kap. TNI AD A. Napitupulu menyatakan dirinya tertembak (“saya kena”).
Rumah alm. Napitupulu sendiri terdapat pada rumah nomor tiga dalam barak yang
sama, sementara ia mati tertembak didepan rumah pertama dari barak tersebut.
Pada rumah dimana ia tertembak, pada tembok luarnya nampak dua lubang bekas
tembakan yang menembus hingga ke ruangan tamu. Jarak antara bekas peluru dan
tempat almarhum tergeletak setelah ditembak sekitar dua meter. Sekitar enam
meter dari samping depan gudang senjata dan sekitar sepuluh meter dari ujung
tembok kantor Kodim, tempat Dandim berdiri saat menembak seorang penyerang yang
mati didalam gudang. (Sangat disayangkan jenazah Kapt. TNI AD A. Napitupulu dan
Ruben Wana yang merupakan korban dari insiden penyerangan tersebut tidak di
autopsi untuk memastikan jenis peluru yang menyebabkan kematian bagi korban,
demikian pula halnya dengan jenazah TPN/OPM yang berhasil ditembak oleh
Dandim). Jenazah seorang pelaku penyerangan dibiarkan tergeletak sampai
beberapa hari didalam gudang senjata, hingga kemudian atas inisiatif dari
Kajari Wamena jenazah tersebut langsung dimakamkan di pekuburan umum. Nama
korban yang tertembak didalam gudang senjata tersebut adalah Erman Tabuni alias
Titus Murib.
Perumahan perwira Kodim berbentuk barak memanjang, satu
barak terletak di sisi timur dan satu barak lainnya mendekat ke arah selatan,
mengapit kantor Kodim yang hanya semeter dari mesjid dan gudang senjata. Barak
selatan merupakan barak terdekat dengan lokasi kejadian. Sedangkan Rumah Dandim
berada di barak perumahan perwira bagian timur. Dijelaskan lagi
13
bahwa lampu dalam kompleks dinyalakan disaat para penyerang
sudah tidak nampak lagi di tempat kejadian. Sebagian diantara penyerang lari
keluar kompleks melewati barak selatan dimana di bagian belakang barak ini ada
jalan umum berbatu yang memisahkan perumahan Kodim dan kompleks perumahan
pegawai Kantor Dinas Perdagangan, berhadapan dengan tembok belakang dari barak
selatan.
Setelah lampu menyala kembali, Dandim mendapati perwiranya
yang sudah meninggal bersimbah darah dekat barak dinas perwira dan kemudian
mengecek tubuh penyerang yang ditembaknya pertama kali yang memang tergeletak
didalam gudang senjata. Senjata dan sejumlah amunisi yang diletakkan di gudang
dalam keadaan dirantai satu sama lain, sebagiannya sudah dicopot. Memutar ke
depan mesjid, dirinya menemukan tubuh Sersan Ruben Wana (penjaga gudang) yang
sudah meninggal karena tertembak oleh kelompok penyerang, terang Dandim.
Kelompok penyerang tersebut, menurut Dandim berhasil
merampas 29 pucuk senjata dari berbagai macam jenis yang terdiri dari M 16, SP,
dan senjata SS1 dan 4000 butir amunisi milik inventaris Kodim Wamena.
Kedua anggota TNI yang tertembak tidak bersenjata. Setelah
ditanya mengapa demikian dan sejak kapan adanya kebijakan menggudangkan senjata
dari anggota Kodim, menurut Dandim hal ini sudah menjadi kebijakan resmi di
Kodim Wamena. Bahkan seorang anggota yang menjaga gudang malahan tidak
dilengkapi senjata ! (Tidak dijelaskan alasan dari kebijakan penggudangan
senjata tersebut).
II.B. SUASANA LOKASI DAN GUDANG SENJATA SAAT PENINJAUAN
Sewaktu meninjau lokasi, terlihat gedung Taman Kanak-Kanak
berada dipinggir jalan raya, Jl. Yos Sudarso; berjarak sekitar 50 meter dari
pintu utama menuju kompleks Kodim dimana terdapat pos penjagaan (TK menghadap
ke bagian selatan-Kurima, pos penjagaan agak menghadap ke bagian barat; arah
Welesi). Bagian depan Taman Kanak-Kanak berada tegak lurus dengan mesjid Kodim
yang menempel rapat dengan bagian belakang dari gudang senjata. Keduanya
dipisahkan oleh lapangan upacara. Teras utara mesjid bersebelahan dengan kantor
Kodim dan ruang kerja para perwira.
Gudang senjata sendiri dari kejauhan tampak seperti mesjid
kecil, bercat hijau muda. Bagian depan memiliki teras yang lebarnya sekitar 1
meter setengah, dalam keadaan bersih. Pada pintu luar yang dikunci dengan dua
buah gembok besar, nampak tidak begitu rusak, tidak ada goresan atau lubang
pada pintu yang berbahan kayu itu karena bekas tikaman linggis saat para
penyerang merusak gembok pada pintu dan memasuki gudang. Warna cat pada daun
pintu, tempat gembok tergantung, nampak sama (hijau muda) dengan warna cat
disekeliling tembok gudang. Sewaktu ditanyakan kepada Dandim, apakah cat yang
nampak di sekeliling tembok
14
gudang senjata tersebut baru dikerjakan setelah penyerangan,
dijelaskan bahwa tidak ada penggantian cat. Yang diganti adalah kedua gembok
(yang baru berwarna metalik).
Bekas-bekas peluru yang masih terlihat pada saat kunjungan
Tim ke lokasi adalah dua lubang bekas peluru di rumah pertama barak perwira
selatan, menembus tembok samping ke ruang tamu; satu bekas tembakan melubangi
salah satu tiang belakang mesjid; satu bekas peluru menembus kaca nako dari
salah satu ruang kerja kantor Kodim yang berada didepan gudang senjata; nampak
dua sampai tiga bekas peluru di tembok gudang senjata, dekat pintu. Pada kawat
duri yang memisahkan samping gudang dan mesjid, terkait kain berukuran kurang
lebih 2 cm yang diterangkan Dandim merupakan sobekan baju dari salah satu
penyerang yang melarikan diri dengan cara memaksa keluar halaman gudang melalui
pagar berkawat duri tersebut. Akan tetapi di lokasi tempat terjadinya tembak
menembak antara kelompok penyerang dengan Dandim tersebut, tidak ditemukan lonsongan-lonsongan
peluru bekas terjadinya tembak menembak, tidak diketahui apakah
longsongan-longsongan peluru itu telah dikumpul dan dibersihkan oleh petugas
atau karena suatu sebab yang lain. Hal itu telah ditanyakan oleh Tim Koalisi,
tetapi tidak mendapat tanggapan dari Dandim.
Tempat dimana Dandim berdiri pada malam kejadian, merupakan
semen penutup septi-tank yang tampak sudah pecah dan ditimbun dengan setumpuk
sampah kertas dan juga rerumputan.
15
BAGIAN III
TINDAK LANJUT SETELAH PERISTIWA PENYERANGAN GUDANG SENJATA
III.A. BERBAGAI DUGAAN TENTANG PELAKU
Hingga laporan ini disusun, belum diketahui dengan pasti
siapa atau kelompok mana yang melakukan penyerangan dan perampokan senjata dan
amunisi di gudang senjata milik Kodim 1702 / Wamena pada 4 April 2003. Namun
berikut ini dicatatkan sejumlah informasi dan dugaan awal mengenai pelaku
penyerangan, baik yang disampaikan oleh masyarakat sekitar Wamena, pejabat
publik maupun pihak Kodim serta kepolisian di Wamena.
III.A.1. Versi Kodim Wamena
(Disampaikan oleh Dandim 1702/Wamena Letkol. Kav. Masrumsyah
dalam pertemuan dengan Tim Koalisi pada 19 April 2003 di Markas Kodim Wamena)
Menurut Dandim, penyerangan pada 4 April 2003 dipimpin oleh
Yustinus Murib, pimpinan TPN / OPM wilayah Kwiyawage, Distrik Tiom, Kabupaten
Jayawijaya. Pelakunya jelas bukan orang dari Lembah Baliem (tidak dijelaskan
kenapa?). Penyerangan ini diatur sangat rapi dan kemungkinan melibatkan ‘orang
dalam’ Kodim sehingga sedang dilakukan penyelidikan terhadap 20-an orang
anggota Kodim Wamena. Diantaranya ada yang ditahan, sementara anggota yang
lainnya dikenai status “wajib lapor”. Golongan yang terakhir ini umumnya
disebabkan karena saat kejadian mereka tidak melakukan kewajiban penjagaan dan
sebagian diantaranya pulang ke markas Kodim larut malam.
Yang menjadi penunjuk jalan pada saat penyerangan adalah
Kanius Murib, Numbungga Telenggen dan Yaprei Murib. Ditambahkan bahwa, Yaprei
Murib, salah satu tersangka yang sedang ditahan Polres Wamena, pernah mendaftar
sebagai calon tentara sehingga diperkirakan pernah masuk ke kompleks Kodim dan
dari sinilah ia mengetahui posisi gudang senjata. Dalam interogasi di Kodim,
Yaprei Murib mengakui bahwa dirinya yang menunjuk lokasi gudang senjata kepada
Yustinus Murib pada malam kejadian, terang Dandim.
Ada 15 orang yang berhasil masuk ke gudang pada malam
kejadian, diantaranya ada dua orang warga dari Napua yakni, Yapenas Murib dan
Kanius Murib. Sembilan orang diantara para penyerang disinyalir telah melarikan
diri ke arah Kwiyawage. Kelompok penyerang diketahui pernah mengibarkan bendera
Bintang Kejora pada 18 Maret 2003 di Pirime.
Senjata dan amunisi yang didapat kembali setelah
penyerangan, menurut Dandim merupakan perjuangan putra daerah Baliem, salah
satu diantaranya adalah anggota Kodim, Sdr. Jimmy
16
Asso, yang hadir dalam pertemuan ini. Rinciannya adalah 3
pucuk senjata diserahkan oleh Kepala Desa Napua (bandingkan dengan kronologi
pengembalian senjata di Napua); 6 pucuk ditemukan dalam penyisiran oleh aparat
mengikuti arah perjalanan para penyerang; 10 pucuk tercecer di tangan anggota
Kodim sendiri (maka tidak hilang selama pembobolan gudang senjata, sehingga
jumlah yang hilang ternyata 19 pucuk senjata) yang baru dilaporkan ke markas
Kodim setelah kejadian, tanggal 4 April 2003 siang. Jumlah senjata secara
keseluruhan yang masih hilang adalah 6 pucuk M-16 dan 4 pucuk jenis SP serta
4000 amunisi dari kedua jenis senjata dimaksud.
Sedangkan menurut penjelasan Dandrem Jayapura, Kolonel AD
Agus Mulyadi dalam pertemuan yang sama yang dihadiri juga oleh sejumlah asisten
Kodim dan Kodam XVII/Trikora lainnya (asisten intel, asisten teritorial,
asisten operasi), dikatakan bahwa peristiwa penyerangan gudang senjata milik
Kodim Wamena sangat memalukan pihaknya. Bahkan sepuluh (10) senjata dan 4000
amunisi masih hilang dan berbahaya bagi keselamatan masyarakat jika
disalahgunakan oleh kelompok perampok tersebut. Pihak TNI sedang bekerja sama
dengan tokoh-tokoh masyarakat untuk mencari kembali senjata dan amunisi
tersebut karena senjata adalah ‘milik rakyat’, bukan semata-mata milik TNI.
Senjata dibeli dengan uang rakyat melalui pajak yang dibayar kepada negara.
Peristiwa tanggal 4 April 2003 direncanakan dengan matang sekali dan
profesional.
III.A.2. Versi Masyarakat
(Sumber-sumber di Kota Wamena dan sejumlah tempat di
pinggiran kota yang ditemui Tim Koalisi - nama-nama ada pada Tim -)
Pada umumnya dikatakan bahwa tindakan penyerangan ini
dilakukan oleh sekelompok orang (jumlah tak tentu) TPN/OPM yang dipimpin oleh
Sdr. Yustinus Murib dari Kwiyawage, Tiom yang kemudian mengajak serta beberapa
anggota Satgas Papua yang tersebar di kota Wamena, Welesi, Napua, Okilik dan
Kurima. Beberapa diantara anggota Satgas juga merupakan anggota TPN/OPM Kodap
II Jayawijaya yang dipimpin oleh Sdr. Yanto Tabuni. Kelompok Kwiyawage sudah
pernah menyampaikan niatnya untuk menyerang gudang senjata milik Kodim pada
Februari 2003 melalui selebaran yang diberikan kepada warga Wamena. Rencana
penyerangan dimaksudkan untuk memperoleh senjata demi mendukung kegiatan
kelompok tersebut. Diduga mereka dibantu oleh beberapa pensiunan tentara dan
anggota aktif di Kodim Wamena yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan
para penyerang.
Seorang warga (bekerja sebagai pegawai negeri) menjelaskan
bahwa penyerangan ini selain merupakan rencana TPN/OPM dari Kwiyawage, diduga
mendapatkan dukungan dari pihak militer tertentu dengan tujuan, dapat menjadi
alasan untuk meminta tambahan biaya operasional dari pemerintah daerah.
Keberadaan pasukan saat ini mendapat pembiayaan dari Pemda Jayawijaya.
Pengalaman dalam peristiwa traumatik tahun 1977 adalah bagian dari rekayasa
17
militer. Beberapa tokoh masyarakat dipaksa membawa lari
senjata ke hutan kemudian tentara melakukan pengejaran yang pada prakteknya
juga menggunakan masyarakat sebagai tameng di barisan terdepan. Tentara
memanfaatkan persoalan antar suku, konfederasi dan fam yang sudah hidup
turun-temurun pada masyarakat Wamena sehingga memicu terjadinya perang
besar-besaran antar masyarakat sendiri.
Mengenai senjata yang masih hilang, menurut dugaan hingga
saat ini ada di sekitar Napua saja. Tapi diciptakan isu yang juga kemungkinan
disebarluaskan oleh anggota Kodim tertentu dan kelompok pendukungnya bahwa
senjata ada di sejumlah lokasi yang jauh sehingga aparat dapat melakukan
operasi dengan menggunakan helikopter dan / atau melakukan operasi penyisiran
dengan sekelompok masyarakat (milisi); maka, dengan demikian biaya operasi yang
begitu besar tinggal diminta kepada Pemda Jayawijaya. Diduga bahwa operasi
pencarian dijadikan “proyek” militer saja, dengan kemungkinan adanya dukungan
uang dari pejabat sipil.
Hingga saat ini belum diketahui secara pasti bentuk hubungan
yang detail antara kelompok yang sementara diduga melakukan penyerangan,
Yustinus Murib dan 40 orang kawannya dengan anggota TNI Kodim Wamena dan dengan
para pejabat sipil yang menurut dugaan masyarakat memasok logistik (keuangan)
kepada para penyerang tersebut. Beberapa saksi kunci yang bisa dimintai
keterangan untuk keperluan ini diantaranya adalah tersangka Numbungga Telenggen
dan Kanius Wenda yang saat ini ditahan di Mapolres Jayawijaya, selain tentunya
almarhum Yapenas Murib yang banyak mengetahui peristiwa ini.
III.B. KELOMPOK YANG TERLIBAT DALAM OPERASI PENYISIRAN
Berdasarkan pengandaian identitas pelaku tersebut diatas,
ternyata suatu operasi penyisiran kemudian dijalankan oleh aparat keamanan.
Tidak ada tanda suatu investigasi pendahuluan yang komprehensif yang dapat
membantu untuk dengan lebih saksama menentukan siapa atau kelompok mana yang
berada di belakang peristiwa tgl. 4 April 2003 ini. Karena identitas pelaku
belum begitu jelas, maka operasi penyisiran oleh aparat sebagai bentuk tindak
lanjut penyelesaian atas peristiwa tanggal 4 April menjadi kurang jelas pula
sasarannya.
Suatu indikasi mengenai pola tindaklanjut, dan siapa-siapa
yang terlibat didalamnya terdapat dalam beberapa fakta yang dicatat dibawah
ini:
[1] Setelah terjadi penyerangan dan pencurian pada tanggal 4
April 2003 subuh itu, pada siang harinya aparat TNI Kodim Wamena dengan dibantu
oleh pihak kepolisian Polres Wamena bersama Milisi Merah-Putih/Pro-Otonomi
melakukan pengejaran ke arah Welesi, Napua, Okilik, Yipele dan sekitarnya
Hitigima hingga Kurima, Habema dan Air Garam. Pengejaran dilakukan dalam rangka
mencari pelaku dan 29 pucuk senjata serta 4000 butir amunisi yang diperkirakan
hilang dari gudang senjata tersebut.
[2] Pada hari Sabtu, 5 April 2003 pagi, kurang lebih 186
orang anggota TNI yang terdiri dari Kopassus dan Kostrad mendarat di Wamena
dengan dua pesawat Hercules TNI-AU. Selain
18
pasukan dari Jakarta, pada saat yang sama juga tiba 25 orang
anggota Brimob dari Polda Papua dan sejumlah intel polisi yang dipimpin
langsung oleh Kapolda Papua, Irjen. Pol. Drs. Budi Utomo dan Komandan Satuan
Brimob Polda Papua, R. Kaligis. Anggota Kopassus yang tiba langsung diterjunkan
ke lapangan untuk melakukan penyisiran dengan dibantu oleh sejumlah warga dari
Welesi, Wamena Kota dan Kurima yang selama ini disinyallir oleh masyarakat
merupakan bagian dari kelompok pendukung Satgas Merah-Putih sekaligus pendukung
Otonomi.
[3] Dari data yang terkumpul, tindakan penangkapan,
penahanan yang kadang diikuti dengan penyiksaan dilakukan oleh pihak TNI maupun
aparat kepolisian Polres Wamena. Untuk anggota TNI terbagi lagi kedalam
beberapa kelompok utama: pasukan Kostrad/Samber Nyawa Solo, asal Kodam
Diponegoro/Jawa Tengah yang sudah hampir setahun ditugaskan di Wamena, gabungan
pasukan Kostrad dan Kopassus sebanyak 186 orang yang didatangkan dari Jakarta
pada 5 April 2003, dan aparat Kodim 1702 Wamena sendiri. Dalam melakukan
penyisiran ke honai-honai penduduk, anggota TNI dari Kodim 1702 Wamena
khususnya yang berstatus putra daerah Wamena, umumnya melakukan peran sebagai
penunjuk jalan atau pendamping bagi pasukan Kostrad dan Kopassus yang
didatangkan dari luar Papua.
[4] Selain itu, dalam operasi penyisiran yang dilakukan pada
tanggal 4-7 April 2003 setelah kejadian, melibatkan Kelompok Satgas Merah Putih
atau oleh masyarakat dikenal juga dengan Kelompok Pro-Otonomi yang berjumlah
50-an orang, dipimpin oleh Benyamin Asso, Kepala Suku Hulibit Hubi, Kepala Suku
Haji Aipon Asso dan Wesakin Asso, dengan anggota yang kebanyakan berasal dari
Desa Hitigima dan Welesi, Distrik Wamena Kota serta sejumlah lainnya berasal
dari Kecamatan Kurima. Wesakin Asso adalah kakak kandung dari Sdr. Jimmy Asso,
anggota Intel Kodim Wamena berpangkat Sersan Dua sekaligus Ketua Yayasan Lembah
Baliem yang nampak banyak mengetahui perkembangan kelompok para-militer yang
dibentuk oleh Kodim Wamena. Salah satu rumah milik Jimmy Asso di Wouma
ditempati oleh pasukan TNI yang baru didatangkan di Wamena dari Jakarta pada 5
April 2003. Ia juga menjadi tumpuan pihak TNI dalam melibatkan kelompok
masyarakat tertentu seperti Satgas Merah-Putih/Pro-Otonomi sebagai penunjuk
jalan atau sebagai semacam tenaga bantuan operasi (TBO) pada saat penyisiran
awal dalam rangka mencari senjata yang hilang dan para pelaku penyerangan.
Kelompok milisi ini juga - menurut kesaksian masyarakat - melaporkan anggota
Satgas Papua maupun anggota TPN/OPM Kodap II Jayawijaya kepada pihak TNI dan Polisi
sehingga rumah mereka digeledah bahkan beberapa diantaranya ditangkap, ditahan
maupun disiksa3 dalam operasi penyisiran oleh TNI hingga saat laporan ini
disusun.
3 Lihat setiap uraian kronologi penangkapan dan penyiksaan
warga masyarakat pasca penyerangan 4 April 2003 sebagaimana diuraikan dalam
Bagian V. 19
BAGIAN IV
POLA OPERASI PENYISIRAN OLEH APARAT KEAMANAN
IV.A. OPERASI PENYISIRAN DI DESA NAPUA, KECAMATAN HUBI KOSSI
IV.A. 1. Dalam upaya pengembalian tiga pucuk senjata di
Napua
(Keterangan dari tiga saksi mata, yang namanya ada pada Tim
Koalisi)
Pada hari Minggu, 6 April 2003, pukul 17.00 wit, sekitar 25
orang TNI bersama Milisi Merah Putih yang dipimpin oleh Kepala suku Haji Aipon
Asso dari Welesi dan Wesakin Asso dari Hitigima, setelah mengadakan penyisiran
di daerah Welesi dan Yelekama, tiba di Napua. Melihat kedatangan banyak orang
dengan membawa alat perang tradisional, masyarakat di Napua terkejut dan
mendekati mereka tanpa komentar. Haji Aipon Asso langsung mengatakan kepada
masyarakat yang ada bahwa “kamu orang Napua harus bertanggung jawab atas
kecurian senjata di Kodim. Karena yang mencuri senjata itu kamu orang Kingmi
(GKII) dari Napua yaitu : Inapik Murib dan Kanius Murib.”
Selanjutnya Bp. Wesakin Asso dengan tegas mengatakan bahwa
untuk menjadi jaminan agar senjata yang hilang dan diduga dibawa oleh kedua
warga Napua tersebut diatas dapat dikembalikan, mereka harus membawa Pdt. Yosa
Murib, Pdt. Elias Matuan dan Luka Murib ke Wamena kota. Karena terkejut, takut
dan merasa tertekan, masyarakat Napua mengadakan pertemuan dimana dari hasil
pertemuan tersebut masyarakat kemudian mengutus Bp. Hantor Matuan dan Bp.
Benyamin Matuan (keduanya berstatus sebagai Guru SD dan juga tokoh masyarakat
di Napua) untuk segera menghadap Panglima Daerah Militer XVII/Trikora dan
Dandim 1702 Wamena di Kodim Wamena. Sekitar pukul 19.30 wit kedua guru berhasil
bertemu dengan Pangdam dan Dandim. Dalam pertemuan tersebut kedua utusan ini
mengatakan kepada Dandim dan Pangdam bahwa “karena senjata yang dicuri / hilang
diduga ada di Napua, maka, kami masyarakat yang ada di Napua dan sekitarnya
telah sepakat untuk mencari sendiri tanpa melibatkan TNI terutama Milisi.
Karena sejak peristiwa 1977 itu, mereka ( Haji Aipon Asso ) itulah yang
menyerang kami sehingga saat ini juga mereka mau gunakan kesempatan ini untuk
menyerang kami. Orang–orang tua mengatakan apabila mereka ( milisi ) yang
datang, lebih baik TNI mundur dan memberi kesempatan kepada kami untuk perang
antara Milisi dan kami, sehingga apabila dalam penyisiran Bapak melibatkan
Milisi maka akan terjadi perang saudara”. Pangdam dan Dandim langsung
mengatakan, “tidak, tidak. Bukan begitu, jangan sampai hal itu terjadi”.
Dengan demikian kedua utusan langsung membuat
kesepakatan-kesepakatan bersama Pangdam Trikora dan Dandim sebagai jaminan
pencarian senjata yaitu :
20
[1] Meminta waktu satu minggu untuk pencarian, namun waktu
yang disetujui hanya 3 (tiga) hari sejak pertemuan ini.
[2] Selama pencarian diminta tidak boleh melibatkan TNI dan
Milisi.
[3] Kesepakatan tentang keselamatan pelaku. Bagi pelaku
disepakati bahwa kalau pelaku merasa takut, maka tidak boleh dihadirkan dalam
pertemuan dengan Pangdam dan Dandim. Yang penting senjatanya dapat
dikembalikan. Akan tetapi apabila pelaku merasa berani, boleh datang saat pengembalian
senjata dan pelaku tidak akan diapa-apakan, “aman-aman saja, tidak akan ditahan
dan dianiaya”.
Hari Senin, 7 April 2003. Berdasarkan Perjanjian tersebut
sekitar jam 17.00 wit masyarakat mulai mengadakan pencarian di hutan Napua dan
Welesi bersama Sdr. Kanius Murib, warga Kampung Yelekama, Desa Napua (Kanius
saat ini berstatus sebagai tersangka dan ditahan di Polres Wamena). Beberapa
saat kemudian (malam hari) dua orang anggota Kopassus, Misran dan David datang
ke Napua dan mendesak kepada Bp. Hantor Matuan dan Bp. Benyamin Matuan agar
senjata dan pelaku harus diserahkan kepada mereka. Namun kedua tokoh masyarakat
Napua tersebut menyampaikan bahwa, barang bukti berupa senjata belum ada
ditangan mereka. Mendengar demikian kedua anggota Kopassus tersebut
meninggalkan Napua dan kembali ke kota Wamena. Pada malam harinya tokoh-tokoh
masyarakat Napua tanpa melibatkan orang lain terus bernegosiasi dengan Kanius
Murib dan akhirnya Kanius mau mengembalikan 3 ( tiga ) buah senjata jenis M-16
yang disimpannya kepada Guru Hantor dan Benyamin Matuan.
Hari Selasa, 8 April 2003 sekitar pukul 08.00 wit Bp. Hantor
Matuan dan Bp. Benyamin Matuan bersama masyarakat membuat berita acara untuk
penyerahan senjata yang menurut rencana awal akan diberikan langsung kepada Pangdam
dan Dandim di Wamena dalam suatu acara resmi. Sementara mereka sedang membuat
berita acara tersebut, datanglah kedua anggota Kopassus yang sama (Misran dan
David) dan mereka langsung meminta agar senjata harus diberikan kepada mereka,
namun masyarakat tetap berpegang pada kesepakatan awal dimana senjata akan
diserahkan secara langsung oleh masyarakat kepada Pangdam Trikora dan Dandim
Wamena. Melihat sikap masyarakat tersebut, dengan menggunakan handphone, kedua
Kopassus segera menelpon Komandan Kopassus di Kodim Wamena. Kira-kira dua puluh
menit kemudian datanglah Komandan Kopassus bersama sekitar 30 orang anak
buahnya (anggota Kopassus) ke Napua dengan menggunakan dua buah truk. Atas
desakan Kopassus tiga buah senjata tersebut akhirnya diserahkan kepada Kopassus
tanpa berita acara sebagaimana yang sudah dijanjikan dengan Pangdam Trikora dan
Dandim. Pelaku tidak dihadirkan di lokasi penyerahan senjata ke Kopassus
tersebut.
Satu jam lebih setelah penyerahan senjata, datang lagi para
Milisi ke Napua dibawah pimpinan Haji Aipon Asso ( Ketua II Milisi Merah
Putih/Kelompok Pro-Otonomi Kabupaten Jayawijaya ) dan Kepala Suku Asotipo Bp.
Wesakin Asso dan Benyamin Asso ( Saudara kandung Jimmy Asso,
21
anggota TNI dan juga Koordinator Satgas Merah-Putih bentukan
Yayasan Lembah Baliem di Jakarta Januari 2002 ). Mereka menodong, mengancam
bahkan hendak menyerang masyarakat Napua. Mereka juga mengancam dan bertanya
kepada ibu-ibu yang ada, “dimana kamu punya suami-suami?”. Beberapa menit
kemudian datanglah Kopassus dan menyuruh para milisi segera kembali ke Kodim.
Karena masyarakat Napua merasa tidak aman, kedua tokoh masyarakat memohon
kepada Komandan Kopassus untuk pengamanan. Karena jika tidak bisa terjadi
perang saudara antara masyarakat Pro Merdeka dan Pro Integrasi/Otonomi (milisi)
di Napua dan inbasnya akan menyebar keseluruh Lembah Baliem sehingga akan
memicu terjadinya Konflik yang lebih besar lagi. Atas permintaan masyarakat,
Komandan Kopassus menempatkan dua orang Anggota Kopassus di Napua pada hari
itu.
Sekitar pukul 13.00 wit, setelah Milisi kembali ke Kodim di
Wamena, ada intel Kodim yang identitasnya tidak diketahui jelas, datang ke
Napua menjemput kedua tokoh masyarakat (Hantor Matuan dan Benyamin Matuan)
menuju markas Kodim di Wamena Kota. Menurut intel tersebut, penjemputan ini
atas perintah Dandim Jayawijaya. Setelah sampai di Kodim, ternyata kedua tokoh
dihadapkan dengan para milisi yang telah berkumpul dan milisi sangat marah
dengan cara pengembalian senjata yang menurut mereka dilakukan secara tersembunyi
alias diam-diam. Menurut milisi senjata harus dikembalikan lewat mereka; hal
tersebut disampaikan oleh Jimmy Asso, anggota Kodim bahwa, “kenapa serahkan
senjata secara diam-diam, sebenarnya harus serahkan lewat kami.” Selanjutnya
ditambahkan juga oleh kakak Jimmy Asso, Wesakin Asso, bahwa, ”karena kamu orang
Kemah Injil yang curi senjata sehingga nama kami orang Kemah Injil sudah rusak.
Jadi senjata yang sisa itu juga harus dikembalikan segera. Kalau tidak, kami
yang akan operasi”.
Pagi hari Rabu, 9 April 2003 sejumlah Kopassus datang ke
Napua dan meminta kepada masyarakat agar menyerahkan pelaku kepada mereka untuk
dimintai keterangan. Walaupun berdasarkan kesepakatan awal antara keluarga
dengan Pangdam Trikora dan Dandim bahwa pelaku tidak akan dikenai sanksi jika
senjata sudah dikembalikan, dengan terpaksa juga keluarga menyerahkan Kanius
Murib kepada Kopassus.
Setelah dimintai keterangan, sore harinya Kanius Murib
(selanjutnya disebut pelaku) diantar pulang oleh Kopassus ke Napua, karena saat
interogasi pelaku telah mengakui bahwa Yapenas Murib, pemuda dari Desa Napua
tersebut juga terlibat dalam aksi pembobolan gudang senjata pada 4 April 2003
lalu, maka Kopassus saat itu mendesak agar Yapenas Murib harus diserahkan
kepada Kopassus untuk diinterogasi juga. Walaupun permintaan tersebut telah
keluar dari kesepakatan awal namun karena desakan, tekanan dan ancaman Kopassus
terpaksa pada malam harinya keluarga bersama tokoh masyarakat mengadakan
pertemuan dan sepakat untuk mencari Yapenas Murib (pemuda yang juga sebagai
anggota Satgas Papua Pasca Kongres Papua II tahun 2000 itu) yang kemudian
diserahkan kepada Kopassus pada hari berikutnya, Kamis, 10 April 2003.
22
IV.A.2. Pembakaran honai di Desa Napua, Distrik Hubi Kossi
Pada hari Sabtu, 12 April 2003, pasukan TNI (warga mengenal
mereka sebagai Kopassus) datang ke honai-honai di Napua, mencari senjata yang
hilang dan pelaku penyerangan gudang senjata. Setibanya di honai dari keluarga
Yapenas Murib, TNI mulai membakar honai tersebut termasuk honai-honai milik
masyarakat Kwiyawage yang menetap dalam satu perkampungan (Silimo) yang sama.
Yapenas dan keluarganya memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat
Kwiyawage. Pada saat kejadian, Sdr. Yapenas sendiri sudah berada di tangan
Kopassus dan sedang diinterogasi di Kodim Wamena (ia dibawa pergi oleh Kopassus
dari Napua sejak hari Kamis, 10 April 2003). Sedangkan ketika Yapenas Murib
ditangkap dan ditahan oleh TNI/Kopassus, Inapik Murib, ayahnya melarikan diri
dan sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya.
Honai-honai yang dibakar terletak di dua lokasi, dengan
jumlah keseluruhan sebanyak 9 (sembilan) honai. 6 (enam) honai yang terletak di
Kampung/Silimo Ilekma dibakar sekitar jam dua pagi. Anggota masyarakat yang
honainya dibakar ini, lari menyelamatkan diri ke honai milik kerabat mereka
yang belum dibakar atau bahkan menyelamatkan diri ke kampung tetangga di
sekitar Napua. Nama-nama pemilik honai di Ilekma adalah: Yapenas Murib, Kanius
Murib, Inapik Murib (ayah Yapenas), Linggen Wenda, Kas Kogoya (saksi).
Sedangkan jenis honai yang dibakar adalah honai laki-laki yang sekaligus
merupakan honai adat, dapur panjang, dan honai perempuan. Selain itu, 3 (tiga)
buah honai disekitar kampung tersebut turut dibakar juga. Pemiliknya adalah
Kalinus Kogoya, Weis Murib, Kiranus Murib, Gembala Gereja Baptis di Napua.
Bahkan satu honai milik Markus Yelipele yang berdekatan dengan perkampungan
Ilekma turut dibakar.
Jumlah tentara yang membakar honai (menurut saksi Kas Kogoya
dan Welinus Wenda) cukup banyak. Jumlah pasukan tidak dapat dihitung karena
suasana masih gelap. Sampai saat ini masyarakat disekitar Napua masih merasa
takut setelah pembakaran tersebut, dan pasukan TNI masih tetap melakukan
operasi ke daerah ini.
Keterangan dari saksi Marten Wenda: “ketika tentara datang,
saya lari sembunyi di kebun dekat honai-hanai itu. Saya sempat melihat
pembakaran tersebut, tentara masuk ke rumah (honai) saya dan langsung membakar
honai itu. Ibu-ibu yang tinggal didalam kompleks honai tersebut berlari keluar
menyelamatkan diri ke tempat lain”. Saksi adalah Gembala Gereja Kemah Injil di
Napua. Keterangan saksi Emius Gwijangge :”tentara datang pada malam hari,
langsung mengumpulkan masyarakat dan menanyakan rumah Yapenas Murib. Tetapi
masyarakat menjawab tidak tahu, kemudian dengan sepatu lars anggota TNI
menendang telinga kiri dan telinga kanan dari saya. Setelah itu TNI memeriksa
honai-honai yang ada dan membakar honai milik masyarakat Kwiyawage”. Ayah saksi
bernama Tatolus Gwijangge juga ikut dipukul oleh TNI. Teman saksi bernama Barai
Gwijangge juga ikut dipukul dan ditendang aparat pada malam itu.
23
IV.B. Penyisiran di Honai Lama, Wamena
IV.B.1. Penyisiran di rumah keluarga guru Alex Lantipo,
Kepala Sekolah SD INPRES Anggruk.
(Saksi dalam peristiwa ini adalah ibu Olomina Heselo, istri
guru Alex Lantipo yang melaporkannya kepada Tim Koalisi pada hari Senin, 21
April 2003)
Dijelaskan bahwa pada hari Selasa, 8 April 2003, sekitar
pukul 05.00 atau 06.00 pagi, satu truk berisi anggota TNI yang berwajah baru
(pada papan nama seorang anggota tertulis: Kopassus) datang dan menggeledah
seisi rumah milik keluarga tersebut. Pintu rumah dibuka secara paksa, engsel
dan pegangan pintu dirusak, daun pintu dilubangi dengan pisau sangkur. Semua
anggota keluarga diminta keluar dalam udara dingin pagi itu lalu anggota TNI
tersebut masuk dan memeriksa semua hal yang ada di rumah hingga pada bagian
loteng rumah. Kamar tidur diperiksa, kasur dan tempat tidur dibolak-balik,
buku-buku, pakaian dan peralatan dapur dihambur dalam rumah. Rumput pengalas
honai diangkat dan dibuang keluar honai. Tujuh ikat panah milik suami yang
dihadiahkan oleh muridnya di Anggruk diambil pasukan sambil bertanya dengan
kasar bahwa apakah panah-panah tersebut disimpan sebagai senjata dalam
melakukan penyerangan. Pertanyaan ini dijawab oleh ibu Olomina bahwa panah
tersebut merupakan hasil pekerjaan tangan murid SD Inpres, tempat suaminya
bertugas. Panah-panah tersebut sedang disimpan untuk dijual. Namun jawaban
tersebut dibalas oleh pasukan bahwa, “ah, kamu bohong. Suami kamu itu TPN”.
Dalam Silimo disamping rumah guru Alex, honai adat dirusak,
benda-benda adat dihambur di luar honai sambil disaksikan bapak Salawe Lantipo
yang juga adalah Gembala dari Gereja Kemah Injil yang kedua kakinya sedang
lumpuh. Dirinya dibentak saat penggeledahan tersebut. Honai milik Yahurek
Lantipo juga dirusak.
Pemeriksaan di rumah guru Alex Lantipo dan Silimo milik
keluarganya di Honai Lama itu sudah dilakukan dua kali yakni, pada tanggal 5
April 2003 oleh pihak kepolisian dan pada 6 April 2003 oleh anggota Kodim
Wamena. Menurut saksi, kedatangan dua kelompok pertama ini hanya melakukan
pemeriksaan dengan pertanyaan yang tidak membuat mereka takut. Sedangkan
kedatangan kelompok yang ketiga, pasukan TNI pada 8 April 2003, hingga saat ini
masih menyisakan rasa takut pada istri dan anak-anak yang tinggal sendirian di
rumah tersebut. Suaminya hingga kini masih menjalankan tugasnya sebagai Guru di
Kecamatan Anggruk. Mereka sempat mengungsi ke rumah sanak keluarga di kota
Wamena selama dua hari sejak penggledahan tersebut.
IV.B.2. Sejumlah honai dibongkar, sejumlah warga disiksa
Selain rumah milik guru Lantipo, dalam pemantauan tim ke
lapangan pada hari Minggu, 20 April 2003, didata sejumlah honai yang dibongkar
paksa dan uang milik warga yang diambil anggota TNI dalam beberapa kali
penyisiran di daerah Honai Lama ini. Rumah dan honai-honai yang
24
dirusak serta sejumlah warga yang disiksa dalam penyisiran
tanggal 6–7 April 2003 adalah sebagai berikut :
[1] Rumah Ibu janda dari Bp. Johan Lantipo : pintu depan dan
pintu kamar dirusak, lemari pakaian dibongkar.
[2] Honai adat milik marga Lantipo dirusak, semua
benda-benda pusaka dihambur ke tanah dan beberapa diantaranya diambil
(benda-benda yang diambil berkaitan dengan Apwarek4 yang sedang dipegang oleh
keluarga Lantipo seperti anak panah). Honai adat dijaga oleh Lanipius Lantipo.
[3] Rumah milik Amos Hubi pintunya ditendang sampai rusak.
Beberapa pasukan masuk kedalam kandang ayam peliharaannya dan mengambil telur
ayam sebanyak 30 (tiga puluh) butir.
[4] Guru muda Lazarus Matuan terkena pukulan dan tendangan
diseluruh tubuhnya saat penyisiran tanggal 6 April.
[5] Di kampung Hulekama, Honai Lama pasukan memeriksa rumah
ibu Hansina Yelemaken, membongkar lemari dan membongkar kasur serta tempat
tidur. Pasukan mengambil uang sebesar Rp 1 juta (satu juta rupiah) yang
disimpan didalam noken kecil dan diletakkan dibawah kasur diatas tempat tidur.
[6] Pasukan juga mengambil uang milik istri dari Yos Elopere
sebesar Rp 85 ribu (delapan puluh ribu rupiah).
[7] Pasukan masuk dengan paksa ke rumah Pdt. Yosep Yelemaken
dari Gereja Kemah Injil yang disaat kejadian sedang berada di Sentani,
Jayapura. Semua engsel dan pegangan pintu dirusak, pintu ditikam dengan sangkur
sampai berlubang. Seisi kamar baik di lantai bawah maupun dekat loteng rumah
dibongkar, kasur dan tempat tidur dibolak-balik, pakaian dan apa saja yang ada
di lemari dihambur ke lantai.
[8] Sekitar jam 05.00 pagi, pasukan masuk ke honai milik Sem
Murib dengan menendang pintu honai hingga rusak dan terbuka. Sem yang sedang
tidur diperintahkan keluar dari honai pagi itu dan diajukan pertanyaan, “kamu
tau Titus Murib ? Kan fam kamu sama”. Korban menjawab tidak mengetahui nama itu
dan menjelaskan bahwa fam Murib sangat banyak, tersebar sampi ke Moni-Puncak
Jaya. Karena korban menjawab tidak mengetahui nama Titus Murib, pasukan
langsung memukulnya hingga jatuh ke tanah. Korban ditendang hingga hidung dan
mulutnya berdarah. Pasukan menodong pistol kedalam hidung dan mulutnya,
mengancam akan menembak jika korban tetap menyangkal. Korban tetap menyatakan
tidak mengenal Titus Murib, hal ini membuatnya mengalami siksaan berulang kali
berupa tendangan berkali-kali ke perut korban dan pukulan di wajah serta rahang
korban. Saat ditemui, seluruh tubuh korban masih terasa sakit.
[9] Korban yang mengalami penyiksaan sejenis di Kampung
Ulekama adalah Wanlaik Kosay (orang tua) dan Boas (nama keluarga tidak
diketahui).
4 Apwarek merupakan suatu sistem pertanggungjawaban dalam
pola perang antar suku pada masyarakat Lembah Baliem, dimana benda-benda milik
musuh yang dikalahkan dalam suatu perang seperti anak panah, telinga, rahang
atau ekor babi, tengkorak dan tulang-belulang dari lawan yang mati dalam
perang, disimpan oleh keluarga atau fam yang menang perang. 25
[10] Rumah milik Laurens Wespalek dirusak pasukan, uang
miliknya juga dirampas. Jumlahnya belum diketahui karena saat tim ke lokasi,
korban sedang pergi menjalankan tugas di Kantor Agama Wamena (setiap sore
menurunkan bendera Merah-Putih dan mengibarkannya setiap pagi).
IV.C. Penyisiran di salah satu rumah pegawai Pemda di
Sinakma.
Terjadi pada Minggu, 6 April 2003 sekitar jam 11.00 siang,
di kompleks perumahan Pemda Lama, Sinakma, di rumah keluarga John Monim.
Anggota TNI dengan 1 truk kira-kira berjumlah 30-an orang masuk ke kompleks dan
berhenti di rumah keluarga Monim yang baru saja tiba sepulang ibadat di gereja.
Pasukan masuk ke rumah tanpa permisi, sambil mengarahkan senjata ke wajah Bp.
John, pasukan langsung menggeledah seisi rumah dengan mengatakan “ini perintah
panglima”. Disinyalir sebagai pasukan baru mengingat anggota Kodim hampir
semuanya sudah dikenal. Kasur dan tempat tidur keluarga maupun di kamar
anak-anak diinjak-injak dan dibolak-balik. Suatu hal yang sangat sulit
dijelaskan kepada anak-anaknya, sebab selama ini tindakan macam ini dilarang
bagi anak-anaknya tetapi nampak justru dilanggar oleh orang lain. Lemari
pakaian dibongkar, isi lemari yang terletak di kamar keluarga tersebut dan satu
koper diatasnya dihamburkan ke lantai. Dengan sepatu lars, pasukan naik di atas
meja makan dan memeriksa loteng rumah, sofa di ruang tamu juga diinjak-injak.
Peralatan dapur dihamburkan di atas lantai dapur.
Keluarga merasa ketakutan, anak-anak nampak trauma karena
kedatangan pasukan ke rumah mengingatkan mereka kembali pada peristiwa 6
Oktober 2000 yang pernah memaksa semua anggota keluarga mengungsi ke Jayapura
beberapa bulan lamanya. Bahkan kedua anak yang tertua sudah dikirim ke rumah
keluarga di Jayapura pada 5 April 2003 karena mereka merasa takut dan tidak mau
lagi tinggal di rumah tersebut setelah menyaksikan sendiri penggeledahan yang
dilakukan tentara. Dari penuturan Pak Monim dan istrinya, perbuatan ini dirasa
sungguh melukai harga diri mereka; bahkan dinilai tidak sopan mengingat
dilakukan terhadap dirinya yang sehari-hari justru bekerja sebagai pegawai
negeri sipil di Pemda Jayawijaya. Dirinya merasa sebagai suatu bentuk
penghinaan dan ketidakpercayaan terhadap dirinya yang justru mengabdi kepada
negara. Apalagi suasana tambah mencekam karena dalam penggeledahan itu, pasukan
TNI tidak mengemukakan alasan dari tindakan mereka. Hingga laporan ini dibuat
(21 April), kompleks diawasi tentara sepanjang malam dan kepada setiap keluarga
sudah didaftar oleh tentara untuk menyiapkan minum maupun snack secara
bergiliran. Keluarga merasa pengawasan ini berlebihan dan menambah beban bagi
mereka.
IV.D. Operasi penyisiran/pengambilan senjata di kampung
Moragame
(Moragaima, dalam bahasa Kaonak) PYRAMID.
26
(Berikut ini keterangan dari Ketua Klasis GKII Wilayah
Pyramid, Pendeta Titus Wenda dan sejumlah saksi lainnya yang menemani pasukan
TNI ke Kampung Moragame pada Senin, 21 April 2003 pagi. Mereka ada bersama
pasukan sepanjang perjalanan, saat pasukan berada di Kampung Moragame hingga
pasukan kembali ke kendaraan yang sedang diparkir di kota Pyramid dan
selanjutnya menuju Wamena).
IV.D.1. Pemantauan awal ke Pyramid
Disampaikan bahwa sebelum ‘operasi pengambilan senjata’ pada
hari Senin, 21 April 2003 itu, pada tanggal 5 April 2003 pagi, Pendeta dan
beberapa umat sempat bertemu dengan sejumlah tentara ditengah jalan antara
Kampung Moragame dan Pyramid. Pasukan sedang mengamati kampung tersebut dari
jauh dengan menggunakan lensa jarak jauh (binoculer). Setelah melakukan
pengamatan tersebut, pasukan kemudian kembali ke Wamena. Pagi itu Pendeta Titus
sendiri dan umat dari Pyramid sedang melakukan kunjungan ke kampung tersebut.
Selain melakukan pelayanan rohani, Pendeta juga bermaksud menanyakan warga
disana apakah mereka mengetahui para penyerang gudang senjata milik Kodim
Wamena hari sebelumnya dan apakah mereka mengetahui senjata dan amunisi yang
hilang. Dalam pertemuan dengan warga Moragame di Pos Pekabaran Injil setempat,
warga jemaat menyampaikan bahwa mereka sama sekali belum mengetahui peristiwa
penyerangan dimaksud, selain informasi yang baru saja didengar dari Pendeta
Titus. Masyarakat diminta untuk bersikap jujur demi menghindari kemungkinan
adanya tindakan operasi pencarian oleh TNI ke arah Pyramid. Mengingat Kampung
Moragame dalam dua tahun terakhir dijadikan markas TPN/OPM Kodap II Jayawijaya
untuk Wilayah Pyramid, dipimpin oleh Yusak Tabuni (26 tahun, lulusan SM Negeri
I Wamena). Pengakuan sejumlah warga Pyramid yang sempat bertemu dengan Tim,
sudah cukup lama mereka meminta anak-anak muda di posko tersebut agar
menghentikan kegiatannya namun desakan tersebut tidak dihiraukan. Pdt. Obet
Komba juga pernah mengajukan permintaan yang sama kepada mereka yang mendukung
keberadaan posko Moragame tersebut yang umumnya masih memiliki hubungan famili
dengan beliau. Desakan masyarakat didasarkan pada pertimbangan utama dimana
mereka sudah tidak ingin lagi hidup dalam suasana perang setelah peristiwa
Wamena Berdarah 6 Oktober 2000; keberadaan Posko TPN/OPM hanya akan mengundang
tindakan kekerasan dari aparat keamanan dan dampaknya bisa membuat masyarakat
Pyramid tambah menderita. Dengan penyisiran yang dilakukan tentara pada 21
April ini, sebagian masyarakat bahkan berniat menghancurkan posko tersebut bila
anggotanya tidak membubarkan diri secara sukarela. Kepada mereka diberi batas
waktu hingga minggu terakhir bulan April 2003 ini.
IV.D.2. Penyisiran ke Kampung Moragame
Operasi penyisiran dilakukan pada hari Senin, 21 April 2003.
Dari operasi ini pihak Kodim Wamena kemudian mengumumkannya di Harian
Cenderawasih Pos terbitan Selasa, 22 April 2003 bahwa pihaknya telah menemukan
dua pucuk senjata dan ribuan amunisi dalam operasi
27
yang dipusatkan di Kampung Moragame, satu kilometer jauhnya
dari Kota Pyramid. Informasi ini sulit dapat dibenarkan oleh para saksi di
Pyramid.
(Berikut adalah kronologi kedatangan pasukan ke Pyramid dan
Kampung Moragame yang disampaikan oleh anggota masyarakat yang menyaksikan
sendiri kejadian dimaksud).
Pada Hari Senin, 21 April 2003 sekitar jam 02.00 pagi,
pasukan TNI dengan tiga truk dan dua buah mobil kijang menuju Pyramid, Distrik
Assologaima. Pasukan seluruhnya berasal dari Jawa. Mereka sempat singgah di
Koramil Asologaima dan pada jam 05.00 pagi mereka tiba di Pyramid. Masyarakat
yang melihat kedatangan pasukan di pagi buta itu, mereka langsung berinisiatif
memasak dua ekor ayam dan disajikan kepada para tentara. Sebelum jam 06.00 pagi
pasukan diatur oleh komandan dan diberangkatkan ke Desa Moragame (1 km dari
kota Pyramid) dari tiga arah : timur -Desa Alogonik, barat-Desa Prabaga, dan
Desa Aboneri-Yonggime di bagian tengah dari Pyramid.
Pengurus Klasis GKII Pyramid dengan pimpinan Bp. Titus
Wenda, Kepala Desa dari beberapa desa yang dilalui aparat menuju Moragame dan
masyarakat sekitar berinisiatif mendampingi perjalanan pasukan agar bisa
melihat dari dekat apa saja tindakan yang dilakukan pasukan di lapangan.
Setibanya di Moragame, komandan pasukan mewawancarai masyarakat pada jam 07.00
pagi, cuaca nampak mendung dan gelap. Didalam salah satu honai yang dijadikan
posko TPN/OPM Kodap II Wilayah Pyramid tersebut, ditancapkan sebuah Bendera
Bintang Kejora berukuran sedang. Melihat bendera tersebut, komandan pasukan
bertanya, “sejak kapan bendera ini dinaikkan?”. Jawaban masyarakat bahwa
bendera dinaikkan sejak nama Papua disetujui oleh Presiden Gus Dur. Mendengar
jawaban tersebut sang komandan tampak menggoyang kepala dan sambil tersenyum ia
menjelaskan kepada warga yang berkumpul disekitar honai tersebut bahwa Presiden
RI sudah berganti dari Gus Dur ke Megawati Sukarnoputri. Kemudian komandan
mengajukan pertanyaan seputar perampasan senjata di gudang Kodim Wamena pada 4
April 3003, dan semua anggota masyarakat yang hadir menjawab sama sekali tidak
tahu, bahkan mereka mengaku terkejut setelah mendengar peristiwa tersebut baru
pada 5 April 2003.
Komandan lalu memperkenalkan diri dan meminta ketua klasis
GKII, Bp. Pdt. Titus Wenda memberikan sambutan pagi itu mewakili masyarakat
Pyramid. Dua hal yang ditekankan ketua klasis pada kesempatan ini adalah [1]
pihaknya tetap memegang teguh perjanjian dari masyarakat tujuh desa di Asologaima
pada 1 Januari 2003 bahwa mereka tidak akan terlibat dalam perang lagi;
masyarakat hanya ingin hidup secara damai. [2] Sudah pernah disampaikan kepada
masyarakat jika memiliki senjata harus dikembalikan kepada aparat Desa atau
petugas Gereja untuk selanjutnya diserahkan kepada instansi yang berwenang.
Berdasarkan perjanjian ini, dirinya yakin jika masyarakat sama sekali tidak
memiliki senjata dan amunisi yang dicari. Karena kalau ada, pasti sudah
diserahkan kepada dirinya di Kantor Klasis setelah hal ini disampaikan dalam
kunjungannya pada 5 April 2003. Setelah sambutan dari Ketua Klasis,
28
komandan kemudian mengambil anak panah yang dipegang seorang
warga lalu mengatakan, “ini adalah senjata kalian, kami tidak akan
mengambilnya. Kami datang hanya mengejar ‘alat negara’ yang hilang. Jika belum
dikembalikan, kami akan mencarinya terus sampai ketemu. Bisa selama tiga tahun.
Sewaktu-waktu kami akan mencarinya ke tempat ini lagi”. Setelah mengatakan
demikian, komandan memerintahkan anak buahnya untuk melakukan perjalanan
kembali ke Pyramid dan selanjutnya ke Wamena. Kira-kira jam sudah menunjukkan
pukul 08.00 wit.
Dalam perjalanan dari Moragame ke Pyramid dimana Ketua
Klasis berjalan bersama komandan, tiba-tiba seorang anak buahnya datang dan
melaporkan bahwa Elias Tabuni, Komandan Posko Moragame memegang 4 (empat) pucuk
senjata. Pernyataan tersebut seolah-olah tidak ditanggapi oleh Komandan yang
tetap berjalan menuju Pyramid. Tiba di Pyramid, komandan dan sejumlah pasukan
yang sampai lebih dulu sejenak menunggu anggota pasukan lainnya yang masih
dalam perjalanan. Setelah semuanya tiba, komandan memerintahkan anak buahnya
naik ke truk dan dua mobil kijang untuk kembali ke Wamena. Sebelum mobil-mibil
itu meninggalkan Pyramid, Pendeta Titus sempat menanyakan lagi kepada Komandan
untuk memeriksa peralatan yang dimiliki anak buahnya; jangan sampai tertinggal.
Namun dijawab oleh Komandan bahwa semua perlengkapan anak buahnya lengkap,
kecuali satu buah sangkur dan satu topi (berlambang Kopassus) tertinggal entah di
kampung yang mana selama penyisiran hari ini. Pendeta berjanji kepada komandan
akan mencarinya dan secepatnya mengembalikan kepada komandan di Wamena. Menurut
keterangan masyarakat yang ditemui Tim, sangkur dan topi tersebut tergeletak
didalam Posko TPN/OPM Moragame, tidak diketahui siapa dan apa motif dibalik
ditinggalkannya atribut itu. Namun masyarakat rupanya menyadari bahwa, ini
merupakan bagian dari strategi anggota TNI untuk kembali mengadakan operasi ke
Moragame maupun Pyramid secara keseluruhan dengan alasan mencari atributnya
yang bisa saja diisukan diambil kelompok masyarakat tertentu. Rupanya pada saat
bersamaan masyarakat Moragame yang melihat sangkur dan topi tersebut, langsung
menyampaikannya kepada Ketua Klasis dan sedang diupayakan untuk dikembalikan ke
markas Kodim di Wamena secepatnya.
Sebelum konvoi mobil pasukan berangkat ke Wamena, Pendeta
Titus juga meminta kepada komandan agar memerintahkan anak buahnya
mengembalikan alat kerja (sekop, parang, pisau, kampak, dan anak panah) milik
masyarakat yang dibawa anak buahnya dari desa-desa yang pagi tadi dilalui
pasukan menuju Moragame dan alat-alat milik masyarakat Moragame sendiri.
Komandan kemudian memerintahkan anak buahnya mengembalikan alat-alat tersebut,
namun satu anggota tampak marah dan memecahkan kapak milik warga yang diambil
dengan alasan yang tidak diketahui masyarakat. Namun alat-alat lainnya seperti
donkrak mobil, kunci-kunci mobil dan alat penggiling kopi yang diambil dari
salah satu rumah milik penduduk Moragame, tidak dikembalikan.
29
Saat menunggu anak buahnya di mobil, Pendeta Uringgen Waker
memberikan seekor ayam yang sudah disiapkan oleh Kepala Desa Prabaga, Marius
Tabuni kepada komandan sebagai tanda perkenalan dan perdamaian, tetapi komandan
menolaknya dengan mengatakan, ”saya datang karena tugas negara”. Namun salah
satu anak buahnya secara sembunyi-sembunyi meminta ayam tersebut dari tangan
Pendeta Uringgen.
Menurut kesaksian masyarakat yang hadir bersama pasukan di
Posko Moragame (diantarannya Pendeta Titus Wenda), sewaktu pasukan keluar dari
lokasi posko, tidak ada satu pun senjata yang diambil pasukan dari Moragame.
Masyarakat mengaku sangat terkejut membaca berita yang dimuat di Cenderawasih
Pos, 22 April 2003 bahwa aparat menemukan dua (2) pucuk senjata di Moragame.
Masyarakat Pyramid menilainya sebagai “berita kosong” yang disebarluaskan oleh
jajaran TNI Kodim Wamena. Ditegaskan dalam pertemuan dengan Tim Koalisi bahwa
dalam operasi tersebut pasukan hanya sempat mengambil peralatan-peralatan
seperti 1 (satu) buah dongkrak mobil, 1 (satu) buah alat penggiling kopi, dan 1
(satu) buah kunci inggris dari salah satu honai milik warga Moragame, Melkias
Tabuni. Alat-alat tersebut tidak dikembalikan kepada masyarakat saat diminta
oleh Pdt. Titus Wenda di Pyramid sebelum pasukan kembali ke Wamena. Dijelaskan
pula bahwa komandan juga sama sekali tidak menyatakan dihadapan masyarakat
bahwa mereka menemukan senjata dalam operasi penyisiran pada hari Senin subuh
tersebut ke Moragame5. Ditegaskan juga oleh salah satu saksi, Binuk Wandikbo
bahwa tidak benar pasukan mendapatkan senjata seperti yang diberitakan. Menurut
saksi, gerakan aparat dalam penyisiran kemarin dijaga dan diikuti dengan ketat
oleh masyarakat sehingga masyarakat tidak melihat ada senjata atau amunisi yang
didapat dalam penyisiran itu. Hanya peralatan seperti dongkrak itu yang sempat
diambil dan dibawa pergi pasukan.
Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan dari warga di Posko
TPN/OPM Moragame yang disampaikan kepada pihak Klasis GKII Pyramid pada Selasa,
22 April 2003 dalam pertemuan bersama di Posko tersebut. Selain Pdt. Titus,
hadir juga dalam pertemuan itu Kepala Desa Prabaga, Marius Tabuni dan Kepala
Desa Abmeri, Dugius Wenda. Pendeta menanyakan kepada Elias Tabuni, komandan
Posko; apakah dirinya bersama Yusak Tabuni menyimpan empat (4) pucuk senjata
seperti yang diinformasikan oleh seorang pasukan TNI kepada komandannya dalam
perjalanan dari Moragame ke Pyramid Senin kemarin. Keduanya menjawab bahwa
mereka tidak memiliki senjata yang dimaksud. Pendeta kemudian meminta Elias dan
Yusak Tabuni untuk membuat pernyataan terbuka mengenai perihal senjata ini agar
tidak menjadi alasan bagi TNI untuk melakukan operasi penyisiran berikutnya.
IV.D.3. Tindakan pasukan TNI selama melakukan penyisiran di
Moragame, Pyramid
Dalam penyisiran yang dilakukan pasukan TNI ke Moragame,
Pyramid pada tanggal 21 April 2003, pasukan melakukan tindakan penyiksaan
terhadap beberapa warga termasuk anak
5 Lihat surat Pernyataan Sikap Tokoh Agama dan Tokoh
Masyarakat Pyramid; lampiran. 30
sekolah yang ditemui di kampung-kampung yang dilalui pasukan
dari kota Pyramid menuju Kampung Moragame. Berikut ini adalah laporan dari para
korban dan saksi.
Penyiksaan warga di Kampung Bilume, dekat Kampung Moragame
Pasukan masuk kedalam Kampung/Silimo Bilume sekitar jam
05.00 pagi. Kaum perempuan sedang sibuk menyiapkan makanan di dapur, sementara
pemuda dan laki-laki dewasa lainnya sedang menghangatkan tubuh mereka di honai
laki-laki. Para penghuni terkejut dengan kedatangan pasukan pagi itu, dengan
berseragam tentara dan bersenjata lengkap langsung memeriksa setiap honai dan
memerintahkan para penghuni keluar dari honai-honai yang ada. Pasukan sempat
menodongkan senjatanya kepada para perempuan yang sedang masak di dapur.
Pasukan memisahkan kaum perempuan, anak-anak dan laki-laki yang sudah lanjut
usia dalam satu kelompok, lalu memisahkan para remaja putra dan pemuda dalam
kelompok tersendiri.
Setelah itu pasukan yang berjumlah sepuluh orang itu mulai
menginterogasi kelompok pemuda dengan pertanyaan-pertanyaan berikut : “apakah
kamu kenal Matias Wenda ?, Kenal sama pejuang Papua Merdeka, Pdt. Obet Komba ?,
Kenal sama Titus Murib, jenderal OPM ? Apakah kalian temannya Kelly Kwalik ?,
Kamu anggota OPM, dimana posko TPN/OPM ?, Kamu Satgas Papua?”. Beberapa pemuda yang
diam karena ketakutan atau menjawab “tidak atau tidak tahu”, mereka langsung
disiksa aparat.
Berikut adalah para korban penyiksaan berikut tindakan yang
mereka alami :
Warirakmendek Tabuni
(Siswa SMP Negeri Pyramid, Kelas II).
Perut korban dipukul oleh kesepuluh pasukan secara
bergantian; perut dan mulut korban ditendang dengan sepatu lars sampai
berdarah; seluruh wajah korban ditinju setelah ditutup dengan baju termasuk
daerah bagian telinga; tubuh korban disundut dengan rokok, terutama di bagian dada;
setelah itu pasukan menggunakan alat seperti jarum menikam bagian perut korban
dan daerah dekat telinga; satu pasukan menginjak kedua bahu korban dengan
sepatu lars, membuat korban tidak bisa menggerakkan kedua tangannya. Pada saat
memberi kesaksian (Rabu, 23 April 2003), korban nampak sakit, mulutnya bengkak,
seluruh tubuhnya masih sakit, nampak bekas luka sundutan rokok di bagian perut
dan telinga. Korban dan ibunya mengakui bahwa setelah disiksa, korban susah
menelan makanan karena perut terasa mual dan sakit, sekitar mulut dan
tenggorokan terasa sakit sehingga susah mengunyah maupun menelan makanan.
Amisadi Tabuni, Dimius
Komba dan Emon Komba (ketiganya berstatus Siswa Kelas II SMU Negeri Pyramid).
Kedua korban mengalami bentuk penyiksaan yang sama seperti
korban Warirakmendek Tabuni.
Pendeta Kias Wenda (30
tahun, Pendeta Gereja Kemah Injil).
31
Kepada korban diajukan pertanyaan yang sama sebagaimana
diajukan kepada korban lainnya. Kepada korban juga diajukan pertanyaan tentang
apakah korban mengenal Pdt. Obet Komba, bagaimana hubungan keluarga diantara
mereka ! Korban menjawab memang mengenal Pdt. Obet Komba, tetapi beliau tinggal
di Wamena. Kemudian pasukan mengajukan pertanyaan bahwa apakah korban
mengetahui dimana senjata dan amunisi yang dirampas dari gudang Kodim pada 4
April 2003 disimpan disekitar lokasi tersebut dan korban menjawab tidak
tahu-menahu dengan senjata maupun amunisi yang dicuri.
Korban mengalami penyiksaan yang sama seperti yang dialami
oleh para korban terdahulu. Hanya secara khusus korban juga ditendang pada alat
kelaminnya dengan sepatu lars, menyebabkan korban tidak bisa kencing dengan
baik sekitar dua hari lamanya. Wajah korban juga membengkak dan bagian dalam
mulut korban luka-luka akibat pukulan dari pasukan.
Pembongkaran Rumah dan Pengambilan uang milik Warga
Selain tindakan penyiksaan terhadap warga, sejumlah rumah
milik warga dirusak oleh pasukan yang sedang melakukan operasi menuju Kampung
Moragame. Sejumlah uang milik warga juga diambil.
[1] Rumah Bp. Natan Tabuni (Desa Alogonik, Pyramid) :
Pasukan masuk secara paksa ke dalam rumah dengan merusak pintu depan, pintu
belakang serta merusak pintu kamar-kamar dan masuk memeriksa seiisi kamar. Satu
Surat Tanda Tamat Belajar yang disimpan di kamar dibuang ke parit dipinggir
rumah sersebut.
[2] Rumah Bp. Elimelek Tabuni (Desa Alogonik) : pintu depan
rumah bersama kunci dirusak, pintu honai laki-laki dan honai perempuan yang
berada disamping rumah utama ditendang sampai rusak.
[3] Yendenis Wenda (aparat Desa Alogonik) : pasukan
menendang pintu honai miliknya hingga rusak. Istrinya yang sedang memberi makan
babi peliharaannya di kandang, diperintahkan aparat agar keluar. Namun karena
ketakutan, ibu ini tidak keluar. Pasukan marah dan menembak satu kali ke arah
tungku api disisi tempat duduk dari ibu Yendenis. Menyebabkan ibu Yendenis
merasa ketakutan hingga saat ini.
[4] Pasukan menembak ke udara sebanyak dua kali setelah
melihat Bp. Nicolas Tabuni (mantri/petugas medis di Pyramid) yang lari karena
takut melihat pasukan yang berjalan menuju arah rumahnya. Pasukan masuk dan
memeriksa rumah mantri Nikolas dan mengambil uang miliknya sebesar Rp 350.000
(tiga ratus lima puluh ribu rupiah).
[5] Di rumah milik Bp. Elly Komba, pasukan masuk dan
memeriksa seisi rumah, mengambil anak panah, parang satu Surat Tanda Tamat
Belajar (STTB) miliknya yang disimpan didalam peti di kamar tidur dan membuang
begitu saja di lantai dapur rumah tersebut.
[6] Pasukan menendang pintu honai milik Bp. Lamius Komba
hingga rusak. Memeriksa semua barang-barang dalam honai, mengambil sebuah kartu
tabanas bank miliknya dan disobek. Sebuah STTB miliknya juga dikeluarkan dari
dalam tempat penyimpanan/peti dan dilempar ke tanah.
32
[7] Pasukan masuk ke honai milik Elimelek Tabuni (Kepala
Suku di Pyramid), mengambil uang miliknya sebesar Rp 300.000 (tiga ratus ribu
rupiah).
[8] Pasukan mengambil uang kas milik Gereja Kemah Injil
(GKII) Alogonik sebesar Rp 400.000 (empat ratus ribu rupiah) yang disimpan oleh
Natan Tabuni, Majelis Gereja tersebut.
IV.E. Penyisiran di Desa Walaik, Distrik Hubi Kossi
Pada hari Sabtu, 26 April 2003 jam 04.00 pagi, tujuh (7)
orang tentara/TNI menggunakan truk tiba Desa Walaik (terletak di KM 14, jalan
menuju Habema), Distrik Hubi Kossi. Mereka beristirahat di pinggir jalan raya
hingga jam 06.00 pagi, pasukan baru masuk ke Silimo, Kampung Walaik. Didalam
Silimo pasukan memerintahkan semua penghuni keluar dari honai-honai, memisahkan
perempuan dan orang tua dari para pemuda. Kepada para pemuda pasukan menanyakan
senjata dan amunisi yang dibawa lari dari gudang senjata milik Kodim, apakah
disimpan di honai tersebut atau di tempat lain! Pasukan mengatakan, pada malam
hari mereka telah mendengar masyarakat berdiskusi tentang senjata dan amunisi
tersebut sehingga barang-barang dimaksud pasti ada di tempat ini. Namun para
pemuda menjawab bahwa mereka sama sekali tidak mengetahui keberadaan
senjata-senjata yang disebut para pasukan dan mereka juga menolak pernyataan
pasukan mengenai diskusi tentang senjata malam hari.
Mendengar jawaban para pemuda ini, pasukan langsung memukul
tiga orang diantaranya (Midel Asso, 19 tahun; Agus Yelipele, 20 tahun; Albert
Asso, 35 tahun). Pasukan mengancam para korban dengan mengarahkan senjata ke
telinga korban, memasukan moncong senjata kedalam mulut korban sambil mengancam
akan menembak mati korban bila tidak mengakui dimana mereka menyembunyikan
senjata yang dicari. Pasukan juga mengancam hendak menikam korban dengan pisau
sangkur disekitar leher dan perut korban sambil tetap meninju dan menendang
wajah serta tubuh korban lainnya. Termasuk meninju bagian bawah mata korban
berkali-kali. Mulut korban ditendang dengan sepatu lars hingga berdarah, hidung
ketiga korban juga ditinju sampai berdarah. Lutut diinjak dengan sepatu lars.
Ketiga korban mengalami semua penyiksaan ini selama tiga jam dan pasukan
akhirnya meninggalkan lokasi sekitar jam 09.00 pagi, dijemput dengan truk yang
sama yang sedang menunggu di jalan raya dengan sejumlah pasukan lainnya yang
entah datang dari kampung yang mana.
Saat memberikan kesaksian ini, wajah para korban nampak
membengkak; kedua pelipis mata membengkak dan kebiru-biruan; hidung dan mulut
korban membengkak; dalam cuping hidung masih tersisa gumpalan darah.
IV.F. Operasi penyisiran dan pembakaran di Kwiyawage,
Distrik Tiom
Pembakaran perumahan dan situasi masyarakat pada umumnya di
wilayah Kwiyawage, Distrik Tiom jauh dari pengamatan petugas kemanusiaan. Data
yang tertulis dibawah ini merupakan laporan yang diberikan oleh Gembala Gereja
setempat yang terpaksa mengungsi ke hutan. Laporan disampaikan melalui radio
SSB milik Gereja Baptis yang juga diungsikan, setelah
33
pasukan mulai membakar perumahan masyarakat dan menguasai
perkampungan Kwiyawage maupun kampung-kampung lain disekitar Kwiyawage.
Sejak pertama kali dilakukan operasi penyisiran oleh pasukan
TNI dari Wamena, daerah ini tertutup bagi pengamatan tim kemanusiaan yang
independen hingga saat ini. Menurut keterangan dari salah satu pimpinan Gereja
yang anggota umatnya berada di Kwiyawage kepada Tim Koalisi, pada minggu
terakhir bulan April 2003 lalu mereka telah berupaya meminta pihak Kodam
XVII/Trikora untuk membuka lokasi tersebut bagi kunjungan suatu tim
kemanusiaan. Oleh pihak Kodam memang diijinkan, namun tim yang akan berangkat
ke Kwiyawage adalah murni para Petugas Gereja (Hamba Tuhan); tidak boleh
beranggotakan pekerja HAM. Kendati demikian, hingga saat ini tim bentukan
gereja-gereja tersebut belum dapat masuk ke wilayah Kwiyawage karena
pertimbangan keamanan dan sulitnya mendapatkan transportasi ke wilayah ini.
Berikut ini adalah laporan yang disampaikan oleh pimpinan Wilayah Gereja
Baptis. Karena tidak mungkin untuk mengunjungi wilayah tersebut isi laporan ini
belum dapat diadakan cross-checking oleh Tim Koalisi.
Pasukan TNI berangkat dari Wamena ke Kwiyawage pada hari
Kamis, 17 April 2003 dengan jalan kaki melalui Jalan Habema dan tiba di
Kwiyawage, tepatnya di Desa Luarem pada hari Sabtu, 19 April 2003. Menurut
informasi dari penduduk setempat bahwa penyisiran yang dilakukan oleh pasukan
TNI berjumlah 38 tersebut dibantu milisi-milisi yang ada di Kota Wamena dibawah
pimpinan Haji Aipon-Asso dan Kepala Suku Wamena Kulubit Hubi dari Lembah
Baliem, Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Di Desa Luarem terdapat Gereja Baptis Wilayah Yugume dan
Luarem dan pasukan TNI bersama TBO’nya membakar bangunan yang ada di
perkampungan tersebut yaitu : kantor gereja, poliklinik dan rumah-rumah honai
milik masyarakat. Kejadian pembakaran tersebut dilakukan pada tanggal 19–20
April 2003.
Pada tanggal yang sama (19-20 April), pasukan TNI masuk ke
Kampung Wupaga dan membakar rumah-rumah/honai milik masyarakat, rumah Puskesmas
satu unit, rumah petugas medis/ mantri, Gedung SD Inpres dua unit, gedung SLTP,
rumah guru-guru SMP, rumah Gembala Gereja Baptis setempat, rumah milik Ketua
Wilayah Baptis Kwiyawage, kantor Kepala Kampung Wupaga.
Pada tanggal 21-22 April 2003 pasukan TNI melanjutkan
penyisiran di Kampung Nenggeyagin dan Negeya, kemudian membakar: perumahan
milik masyarakat/umat dari Gereja Kemah Injil (GKII), rumah missi/misinaris
GKII, Gedung Gereja Kemah Injil, rumah milik Gembala Wilayah Kemah Injil,
poliklinik milik Gereja Kemah Injil.
Kemudian pada hari dan tanggal yang sama (21-22 April)
pasukan TNI kembali melakukan operasi penyisiran di Wilayah Gereja Injili di
Indonesia (GIDI) di Kampung Mume dan Kampung Tinime sekaligus membakar :
rumah-rumah/honai milik masyarakat, kantor Wilayah GIDI, rumah
34
milik Pendeta Watlambuk Elan, rumah milik Pdt. Manastumu,
rumah staf Klasis GIDI, rumah milik Bidan Desa, rumah Gembala Gereja GIDI,
rumah missi/misionaris UFM, gedung poliklinik GIDI, rumah oetugas medis (mantri
kesehatan), gedung SD INPRES Mume, rumah guru-guru SD INPRES, rumah sosial dan
kantor Kepala Kampung Mume.
Dilaporkan juga bahwa dua orang penduduk mengalami luka-luka
ketika melarikan diri akibat dikejar oleh pasukan TNI. Disamping itu, dalam
penyisiran yang dilakukan oleh pasukan TNI di Kwiyawage, terdapat berbagai
macam tanaman pangan dicabut dan hewan-hewan peliharaan milik masyarakat
ditembak seperti : babi, ayam, kelinci, sehingga menyebabkan masyarakat sekitar
kampung tersebut melarikan diri masuk ke hutan untuk mencari perlindungan
sekaligus menghindari kejaran aparat TNI.
Pelarian masyarakat kampung ke hutan tanpa disertai dengan
bekal yang cukup, mengakibatkan seorang anak yang bernama Kili Telenggen, anak
kandung dari Yusuf Telenggen meninggal dunia akibat kelaparan didalam hutan.
Dikhawatirkan pula apabila hal ini tidak segera ditanggulangi maka korban yang
menderita akibat kelaparan akan semakin bertambah, mengingat kondisi daerah
Kwiyawage merupakan daerah yang sangat dingin.
35
BAGIAN V
POLA PENANGKAPAN SERTA PENYIKSAAN
Dalam Bagian ini kami melaporkan sejumlah kasus penangkapan
yang penyiksaan yang dialami oleh warga masyarakat di kota Wamena dan
sekitarnya. Yang perlu dicatat bahwa mereka yang mengalami penyiksaan
diantaranya tidak dapat digolongkan sebagai tersangka. Selain itu, tindakan
penyiksaan juga dialami oleh kelompok tersangka yang sedang ditahan di Wamena
dan salah satu yang ditahan di Jayapura.
V.A. Penangkapan dan Penyiksaan Petugas PLN di Welesi
(Keterangan ini diberikan oleh lima penjaga PLN).
Setelah penyerangan gudang senjata, sekitar jam dua pagi,
hari Jumat 4 April 2003, anggota Kodim datang ke PLN di Sinakma dan Welesi,
dengan paksa membawa para karyawan yang bertugas menjaga mesin di kedua lokasi
tersebut. Mereka adalah: Albert Ipele, Wawan Itlay, Yulianus Yelipele, Daniel
Yelipele dan Welius Yelipele. Beberapa diantaranya sedang tidur setelah
berusaha menghidupkan kembali mesin yang tiba-tiba mati dan menyebabkan listrik
di kota Wamena padam total. Mereka umumnya karyawan tetap dan staf harian PLN.
Bersama kepala desa Welesi, Ruben Yelipele, mereka dibawa ke markas Kodim dan
dibiarkan duduk di lapangan terbuka hingga pagi hari dalam keadaan dingin,
sampai Pangdam tiba di Kodim Wamena dan bersama Dandim menginterogasi mereka.
Setelah siang hari, dilepas dengan pernyataan akan dipanggil lagi.
Hari Minggu, 21 April 2003 jam 13.00 siang, lima penjaga PLN
dari Welesi dijemput oleh anggota Kopassus, diketahui dari mobil kijang biru
tua yang sedang menuju Welesi dan sempat disaksikan tim Koalisi yang meninjau
lokasi PLN pada saat itu. Sekali lagi mereka dibawa ke Kodim. Selama
diinterogasi dua orang diantaranya (Wawan Itlay dan Welius Yelipele) sempat
ditendang dan dipukul sambil dibentak untuk menunjuk pelaku pemadaman jaringan
listrik malam itu. Anggota yang memeriksa sambil memakai pakian biasa, menyuruh
kelima orang ini harus menunjuk pelakunya dalam waktu dekat. Mereka diancam
bahwa, “jika tidak mencari dan menunjuk pelakunya dalam waktu dekat, kalian
akan saya ajak jalan-jalan, bila perlu dihentikan dari pekerjaan di PLN”.
Mereka disuruh pulang setelah masing-masing diambil gambar/difoto oleh pasukan
yang juga tidak berseragam.
36
V.B. Penangkapan dan penyiksaan terhadap Soleman Hesegem (29
tahun) dan penyiksaan terhadap Paulina Lantipo (40 tahun).
(Keterangan di bagian ini diterima langsung dari dua korban
sendiri, yakni Soleman Hesegem beserta isterinya, Paulina Lantipo pada tanggal
20 April 2003. Keterangan didukung oleh pengamatan langsung pada keadaan fisik
masing-masing korban).
Tim Koalisi bertemu dengan Sdr. Soleman Hesegem bersama
istri setelah dua kali sempat ditangkap dan ditahan pihak kepolisian resort
Wamena. Sdr. Soleman berasal dari Kecamatan Kurima dan sudah menetap lama di
Kampung Wouma, Wamena Kota. Dalam tiga tahun terakhir di kalangan masyarakat
kota Wamena dan sekitarnya ia dikenal aktif sebagai sekretaris komando TPN/OPM
Kodap II Lembah Baliem. ‘Komandan’ dari kelompok ini adalah Yanto Tabuni,
seorang guru salah satu SD INPRES di Kecamatan Kurima yang sejak tanggal 5
April 2003 lalu, satu hari setelah kejadian, telah berangkat ke Jayapura.
Kelompok TPN/OPM Kodap II merupakan salah satu kelompok yang menjadi sasaran
penyisiran yang dilakukan pihak TNI maupun kepolisian karena diduga terlibat
dalam penyerangan gudang Kodim Wamena pada 4 April 2003 lalu.
V.B.1. Penangkapan dan penyiksaan Soleman Hesegem
Seminggu sebelum kejadian, beberapa kali pasukan Kostrad
TNI/Samber Nyawa datang mencari Soleman bersama Sdr. Michael Heselo (wakil
komandan TPN/OPM Kodap II) di tempat tinggal mereka di Kampung Wouma, tanpa
tujuan yang jelas.
Setelah kejadian yakni pada hari Senin, 7 April 2003, pihak
Polres Wamena sempat menangkap Soleman Hesegem dan Michael Heselo di tempat tinggal
keduanya di Wouma dan membawa mereka untuk diinterogasi di Mapolres Wamena.
Namun keduanya kemudian dipulangkan dengan perintah wajib lapor ke Polres
Wamena setiap hari Senin. Dalam penangkapan ini tidak disertai dengan surat
perintah penangkapan.
Pada hari Selasa 8 April 2003 siang, pasukan TNI Kostrad
413/Samber nyawa kembali mencari Soleman ke rumahnya di Wouma. Mereka masuk
kedalam rumah secara paksa, merusak engsel pintu bahkan melubangi pintu rumah
dengan pisau sangkur. Pasukan Kostrad dengan dibantu oleh Benyamin Asso dan
Wesakin Asso (milisi), mengambil sejumlah dokumen ‘perjuangan’ serta mengambil
uang kas TPN/OPM Kodap II sebesar Rp 350.000 (Tiga Ratus Lima Puluh Ribu
Rupiah) disimpan oleh Bapak Musa Lantiko dan uang persembahan milik Gereja
Kemah Injil (GKII) Elim Wouma Atas sebesar Rp 500.000 (Lima Ratus Ribu Rupiah),
disimpan oleh Gembala sekaligus bendahara Gereja, Bapak Nico Elopere.
Penggeledahan juga dilakukan di rumah dan honai milik Michael Heselo. Aparat
mengambil dokumen-dokumen tentang kegiatan TPN/OPM Kodap II, foto-foto dan uang
milik keluarga Michael Heselo sebesar Rp 350.000 (Tiga Ratus Lima Puluh Ribu
Rupiah). Saat kejadian, baik Soleman Hesegem maupun Michael Heselo tidak berada
di rumah.
37
Setelah itu, pada hari Kamis, 10 April 2003, pagi hari di
rumahnya di Kampung Wouma, Sdr. Soleman diminta oleh seorang anggota Polsek
Kurima bernama Sem Itlay untuk pergi dan bertemu dengan Michael Heselo,
kawannya, yang menurut sang polisi sedang berada di salah satu desa dipinggir
ibu kota Distrik Kurima, berjarak kira-kira 30 kilometer arah selatan dari Kota
Wamena. Bersama istrinya, mereka berangkat ke Kurima dan setibanya di salah
satu honai di Desa Kurima yang dikatakan sebagai tempat persembunyian Michael,
mereka justru tidak bertemu Michael. Saat masuk honai didalamnya telah ada
Camat Kurima, Karel Wetipo dan Kepala Desa Ibiroma, Kurima, Nicolas Hesegem,
Epradus Heselo dan sejumlah warga Kurima lainnya. Saat Soleman masuk honai,
polisi Sem Itlay langsung mengatakan, “kalian adalah pimpinan pasukan Koteka di
Wamena, jadi kamu pasti ada laporan di Kurima”. Setelah mengatakan demikian,
sang polisi hendak menangkap Soleman, tetapi dirinya lolos dan lari keluar dari
honai lalu menyembunyikan diri dalam hutan di sekitar Kali Kut, Kurima.
Saul Pumukut (milisi asal Kurima), Epradus Heselo dan aparat
Polsek Kurima lari mengejar Soleman ke Kali Kut dan menangkapnya lalu dibawa
dan diinterogasi di Polsek sambil disiksa oleh anggota Polsek. Kali ini juga
Soleman ditangkap tanpa surat keterangan penangkapan dari pihak kepolisian.
Siang hari, Soleman dibawa dari Polsek Kurima menuju kantor Polres di Wamena
dan sekitar Jam 14.00 wit bertempat di ruang Serse Polres, Soleman diinterogasi
dengan pertanyaan-pertanyaan yang menekannya untuk mengaku bahwa TPN/OPM Kodap
II Lembah Baliem-lah yang melakukan penyerangan ke markas Kodim Wamena pada 4
April 2003. Seorang warga Kurima lainnya – Markus Heselo - yang juga aktif
sebagai anggota Satgas Merah Putih pada saat bersamaan di Polres memberikan
kesaksian yang sama yang menjadi alasan bagi polisi dalam menginterogasi
Soleman.
Berdasarkan pengakuannya, dirinya mengalami penyiksaan
selama diinterogasi oleh tiga orang anggota Serse Polres Wamena (salah satu
anggota dikenal berasal dari Kei, Maluku Tenggara). Soleman dipukul disekitar
wajah, dagu, tangan, lututnya ditendang dengan sepatu polisi, diancam dengan
senjata yang diarahkan ke kepala, mata dan dagu. Setelah diinterogasi, pada jam
18.00 wit ia meloloskan diri dari tahanan Polres setelah diberitahu oleh seorang
anggota Polres Wamena asal Biak bahwa dirinya akan dibunuh di kantor polisi.
Secara diam-diam, ia mengambil kunci gembok sel yang diletakkan begitu saja di
meja dekat sel oleh polisi yang sedang bertugas menjaga dirinya, membuka pintu
sel tersebut dan langsung keluar tanpa diketahui polisi penjaga yang sedang
berada di ruangan lain. Ia menyembunyikan diri hingga saat ini. Di saat Tim
Koalisi mewawancarainya, Soleman dalam keadaan takut dan masih merasa kesakitan
di sekujur tubuh akibat penyiksaan yang dialaminya di Polres Wamena.
Pengakuannya, “saat kejadian kami sedang tidur di honai
disebelah rumah kami di Wouma. Sempat mendengar bunyi tembakan malam-malam dan
kami lari keluar untuk mencari tahu arah tembakan itu. Kami kembali tidur, biar
besok pagi kami bisa check kepastian kejadian ini. Jadi
38
kami di rumah baru tahu paginya (4 April 2003) bahwa ada
penyerangan gudang senjata milik Kodim dan ada senjata yang dibawa lari.
Pelakunya baik saya maupun Michael Heselo, kami tidak tahu, orang lain yang
buat !. Aparat harus kejar mereka ikut bekas darah sepanjang kali ke arah atas
(Napua, Welesi sekitarnya). Kami sama sekali tidak tahu senjata-senjata itu !
Kami dicari-dicari, dikejar hanya karena perjuangan ini (Papua Merdeka), bukan
karena kami adalah pelaku !”.
Dalam keterangannya dikatakan bahwa pos-pos TPN/OPM Kodap II
tersebar merata diseluruh Lembah Baliem. Mereka sama sekali tidak memiliki
persenjataan, aktifitasnya hanyalah mensosialisasikan perjuangan Papua Merdeka
kepada masyarakat Lembah Baliem, Wamena. Tentang Satgas Papua, menurut Soleman,
mereka tidak terorganisir lagi sejak mereka diserang dalam peristiwa Wamena
Berdarah 6 Oktober 2000. Sejak itu para pemuda anggota Satgas kembali ke
kampung masing-masing. Mengenai alamarhum Yapenas Murip yang mati dalam tahanan
Kodim, diakui memang mengenalnya karena mereka bertemu beberapa kali di kota.
Tentang pertemuan tanggal 29 Maret 2003 di Honailama, Wamena kota sebagaimana
diterangkan Kapolres Wamena merupakan pertemuan persiapan penyerangan, menurut
Soleman, pertemuan pada tanggal itu dilakukan secara internal di Kurima, bukan
di Honailama. Pertemuan ini dimaksudkan sebagai penggalangan dana operasional
TPN/OPM.
V.B.2. Penyiksaan terhadap istri Soleman Hesegem, Ibu
Paulina Lantipo
Pada tanggal 10 April 2003, disaat suaminya, Soleman Hesegem
hendak ditangkap oleh polisi dan kelompok milisi, Nahor Heselo dan Hioktili
Heselo (anggota milisi asal Kurima) menangkap istri Soleman, Paulina Lantipo,
menarik noken miliknya sehingga ibu Paulina mengejar untuk mengambil kembali
noken itu. Hioktili Heselo kemudian mencekik dengan keras leher ibu Paulina
sebanyak dua kali, menyebabkan korban sejenak sulit bernafas, menyobek baju dan
BH (pakaian dalam) Ibu Paulina sambil mengancam akan membunuhnya dengan alasan,
ibu melindungi Soleman dan hendak meloloskannya dari sergapan polisi. Dalam
keadaan telanjang dada, Ibu Paulina langsung lari ke tengah hutan dekat Kali
Kut. Lalu pergi ke rumah warga terdekat dan diberi satu baju kaos untuk
dipakai. Saat bertemu dengan Markus Heselo (milisi), ia memberitahukan bahwa
“Sole sudah ditangkap. Sore ini kami akan mencari lagi Michael Heselo. Nahor
dan polisi sudah mencarinya selama ini tapi tidak ketemu”. Isi noken yang
dirampas berupa: pakaian, benang sulam, surat pensiun dari almarhum suami
pertama yang dulunya bekerja sebagai guru SD di Sela, Kecamatan Ninia, dompet
dengan uang sebesar Rp 150.000 (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah). Noken
dikembalikan, tetapi uang sebesar Rp 150.000,- hilang.
Saat ditemui bersama suaminya Soleman Hesegem pada 20 April
2003, Ibu Paulina memberikan keterangan dengan suara serak sambil menahan
kesakitan pada lehernya yang nampak masih membengkak. Dirinya belum bisa makan
dengan baik, terasa sakit bila menelan ludah.
39
V.C. Penyiksaan terhadap warga Desa Okilik, Distrik Hubi
Kossi
(Keterangan diberikan pada hari Selasa malam, 22 April 2003
oleh dua korban dengan didampingi seorang pewarta dari Gereja Katolik Paroki
Welesi dan guru agama Katolik di Okilik. Keterangan didukung oleh pengamatan
langsung pada fisik kedua korban).
Penyisiran di Okilik, Distrik Hubi Kossi dimulai sejak hari
Minggu, 6 April 2003 dimana pasukan TNI mulai masuk ke ibukota kecamatan.
Operasi penyisiran di wilayah Distrik Hubi Kossi dimulai pada hari Selasa, 7
April 2003. Penyisiran tersebut menyebabkan sejumlah warga sipil disiksa oleh
pasukan TNI. Berikut ini adalah kesaksian dari dua korban, yakni: Tinus Matuan
dan Bony Kalolik.
V.C.1. Penangkapan dan Penyiksaan terhadap Tinus Matuan (22
tahun)
Pada hari Kamis, 10 April 2003 sekitar jam 09.00 pagi, Tinus
Matuan, warga Desa Okilik ditangkap tentara di hutan sekitar honai miliknya
saat dirinya sedang mencari kayu bakar. Pagi hari pasukan yang sama telah
datang ke honainya dan meminta korban keluar dari honai dan selanjutnya pasukan
melakukan pemeriksaan honai tersebut sambil bertanya, apakah korban mengetahui
peristiwa pencurian gudang senjata Kodim Wamena pada 4 April 2003. Pasukan
masuk ke dapur dan mendapat sebuah buku yang didalamnya bergambar tentara yang
diakui memang digambar korban bersamaan dengan peristiwa penyanderaan di
Mapnduma yang dilakukan Kelly Kwalik. Pada gambar tersebut diberi keterangan,
“tentara Indonesia sedang menangkap Kelly Kwalik karena menyandera orang”.
Disamping itu, dari dapur juga ditemukan satu dos kosong bekas peluru (tidak
diketahui jenisnya) yang menurut saksi kemungkinan diambil oleh anak-anak dari
tempat penembakan sapi sekitar Okilik (banyak sapi liar di daerah ini) dan
diletakkan di dapur miliknya. Dalam honai induk, ditemukan juga satu tas ransel
berlogo Kopassus yang menurut keterangan korban, diberikan oleh seorang teman
di Jayapura pada bulan Agustus 2001 sebagai kenang-kenangan (setelah dicheck
pada teman korban ini di Jayapura, ternyata benar korban pernah diberi tas
itu). Dari benda-benda tersebut, korban lalu ditanya apakah mengenal Sdr. Kelly
Kwalik yang merupakan pimpinan TPN/OPM dan apakah mengenal Titus Murib; atau
memiliki jaringan kerja dengan mereka !
Dari tengah hutan, korban diminta meninggalkan kapak yang
dibawa untuk mencari kayu bakar dan diminta kembali ke honai. Setibanya di
honai korban diperintahkan untuk membuka baju dan celana panjang, lalu disuruh
tidur di dapur hanya dengan celana dalam. Korban disuruh membalikkan tubuh ke
tanah/lantai dapur dan kedua tangannya diborgol ke belakang. Setelah diborgol,
sambil ditanya tentang Kelly Kwalik korban dipukul dengan kayu balok 5/10 ke
sekujur tubuhnya. Pemukulan ini menyebabkan korban menderita luka fisik yakni:
pada bagian belakang
terdapat garis-garis membiru dan luka yang memerah akibat hantaman balok;
Tanda yang sama
terdapat juga disekitar daerah rusuk, dada dan perut korban;
40
Disekitar mata bagian
bawah membengkak karena dipukul dengan kepalan tinju oleh tentara selama
pemeriksaan.
Saat disiksa, istrinya sedang berada di kebun.
Setelah itu, borgol dilepas tentara dan korban diminta
membawa SSB milik tentara dan ransel mereka ke ibu kota Kecamatan Hubi Kossi
sambil berjalan kaki bersama tentara yang tadi menyiksanya. Mereka beristirahat
sejenak dekat air terjun di Napua, sambil menunggu mobil yang dapat membawa
korban dan angggota TNI tersebut menuju ibukota kecamatan. Ditengah jalan di
saat mereka sedang menunggu kendaraan, lewatlah mobil milik Camat Hubi Kossi,
Bp. Yos Kafiar yang sedang dikemudikan oleh sopirnya Yakop Yogobi asal Pikhe,
Wamena.
Sekitar pukul 17.30 wit korban dan pasukan tiba di ibu kota
kecamatan dan korban langsung dibawa ke kantor kecamatan. Setelah diberi makan
dengan ransum tentara (korban tidak makan sejak ditangkap di honainya di
Okilik), korban kemudian dibawa kedalam salah satu ruang WC di kantor kecamatan
tersebut, ditelanjangi hingga korban hanya menggunakan celana dalam dan
diinterogasi dalam keadaan gelap hingga jam 23.00 wit. Sambil kedua tangannya
diborgol kembali dengan posisi ke belakang dan kedua kakinya diikat menjadi
satu dengan tali ransel/tas pakaian. Korban diinterogasi oleh 3 orang anggota
TNI dan ditanya apakah korban memiliki hubungan dengan Kelly Kwalik yang oleh
pasukan dikatakan sebagai otak pembobolan gudang senjata Kodim Wamena pada 4
April 2003.
Adapun bentuk-bentuk penyiksaan fisik yang dialami korban
selama diinterogasi di kamar WC kantor kecamatan adalah :
Sambil mengajukan
pertanyaan, salah seorang tentara meninju/memukul seluruh tubuh korban;
Bagian bawah dari mata
kembali ditinju hingga bengkak dan membiru;
Bagian belakang dekat
telinga kanan dan kiri disundut dengan puntung rokok yang sedang menyala oleh
anggota TNI lainnya hingga menjadi luka bakar;
Setelah itu anggota
yang ketiga menggunakan batang lidi mengorek bagian belakang dekat pohon
telinga kiri dan telinga kanan korban;
Salah satu anggota TNI
menginjak bagian belakang leher korban sambil menekan kemudian menendang mulut
korban dengan sepatu lars.
Korban disiksa sampai jam 23.00 wit di kantor kecamatan Hubi
Kossi, dibiarkan tidur dalam keadaan tangan terborgol, hanya memakai celana
dalam dan kakinya terikat sampai jam 05.00 wit, hari Jumat, 11 April 2003.
Setelah melakukan penyiksaan malam itu, pasukan TNI tersebut pergi beristirahat
di salah satu rumah yang berada dekat kantor camat. Tindakan penyiksaan di
kantor camat ini sempat dilihat oleh John Hilapok 30 tahun, pegawai harian
Kecamatan Hubi Kossi. (Saksi membenarkan penyiksaan ini dan mengatakan bahwa
sewaktu korban dibawa keluar dari kamar WC, tangannya diborgol dan seluruh
wajah membengkak dan luka-luka).
41
Pada hari Jumat, 11 April 2003 pagi, salah satu anggota TNI
melepaskan tali yang mengikat kaki korban. Sedangkan borgol yang mengikat kedua
tangannya tidak dilepas. Sekitar jam setengah enam pagi, korban diperintahkan
jalan kaki ke Desa Okilik, kurang lebih 3 (tiga) kilometer jauhnya dari ibukota
kecamatan, sekitar setengah jam perjalanan. Dengan kawalan dua orang tentara
bersenjata lengkap, korban dan pasukan tiba dipinggir Desa Okilik jam 06.00
pagi tanpa masuk kedalam perkampungan. Pasukan satu memborgol tangan korban
pada sebuah pohon yang sedang tumbuh dipinggir jalan tersebut sambil korban
tetap dipukul dengan kepalan tangan berkali-kali. Sedangkan pasukan yang lain
dengan ditemani oleh anggota Kodim Wamena, Rudy Yelipele sebagai penunjuk
jalan, melanjutkan perjalanan ke Desa Okilik dengan tujuan yang tidak diketahui
korban. Jam 08.00 pagi, korban diberi makan nasi putih dan ikan kaleng, bagian
dari ransum tentara. Disaat makanan disuap, mulut korban ditinju kembali hingga
berdarah sambil diiterogasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama seperti yang
diajukan saat korban diinterogasi di kantor camat Hubi Kossi pada Kamis malam.
Luka-luka diseluruh tubuh, wajah dan dibawah kelopak mata korban kembali
ditinju hingga berdarah.
Berselang beberapa menit, seorang tentara melepaskan borgol
dari tangan kanan dan borgol bersama tangan kiri digantung diatas pohon. Hal
ini membuat sekitar pergelangan tangan kiri terkelupas dan ibu jari kiri korban
menjadi luka yang memerah, melingkari ibu jarinya. Bekas luka itu masih nampak
saat korban memberikan kesaksian ini. Korban disuruh berdiri menjinjit kemudian
seorang tentara dengan kuatnya menginjak kedua bahu korban dengan sepatu lars.
Tindakan ini membuat korban jatuh terduduk di tanah dengan tangan kirinya yang
masih bergantung diatas pohon sehingga luka pada tangan tersebut bertambah
besar dan berdarah kembali.
Setelah itu, tangan korban dilepas dari pohon, diborgol
kembali dengan tangan kanan dan korban ditendang dengan sepatu lars pada bagian
belakang hingga jatuh terjerembab di tanah. Korban diperintahkan agar berdiri
cepat dan duduk kembali di tempat semula dekat pohon pertama dimana tadinya
kedua tangan korban diborgol pada pohon tersebut. Sampai saat ini korban merasa
seluruh badannya sangat sakit dan sudah tidak kuat lagi untuk berjalan. Namun
korban tetap diperintahkan untuk berjalan ke arah Jalan Habema dengan tujuan,
menunggu helicopter tentara yang akan membawanya ke Kodim Wamena. Korban
dibiarkan duduk dibawah panasnya sinar matahari siang itu, dikelilingi oleh
sekitar 20-an tentara yang berada di sekitar hutan, tidak jauh dari jalan raya,
tempat korban duduk. Diantara pasukan tersebut ada yang baru kembali dari
penyisiran di sekitar kecamatan. Kira-kira jam 16.00 sore, setelah helicopter
yang dinantikan tidak datang, korban bersama tentara-tentara ini naik satu truk
kayu berwarna kuning yang dikemudikan oleh seorang tentara dari arah Habema
menuju kota Wamena, sementara anggota Kodim kembali ke kecamatan. Dalam truck,
korban Tinus bertemu dengan temannya, Bony Kalolik yang juga mengalami
penyiksaan di Okilik pada hari itu juga dan hendak dibawa ke Kodim. Pasukan
yang menyiksa korban, menurut korban berasal dari Jawa. Hanya pangkat dan
namanya tidak diketahui karena ditutup dengan baju rompi warna loreng, milik
tentara.
42
Setibanya di Kodim sekitar jam 17.00 sore, korban Tinus
dipisah dan dibawa ke salah satu rumah di belakang pos jaga Kodim dan
diiterogasi dengan pertanyaan yang sama sambil jari tangan korban yang masih
dalam keadaan diborgol, diinjak di lantai dengan sepatu lars. Korban
diperintahkan untuk masuk kedalam satu kamar di rumah tersebut, disuruh duduk
di lantai dan seorang anggota menginjak leher belakang korban sehingga wajahnya
menunduk ke lantai, sementara tentara yang lain menendang mulutnya dengan
sepatu lars hingga berdarah. Setelah itu, sekitar jam 20.00 malam tubuh korban
disiram dengan air dingin yang menyebabkan korban kedinginan dan luka-luka
diseluruh tubuh korban terasa perih sambil tetap diinterogasi apakah korban
mengenal Kelly Kwalik atau tidak. Korban menjawab bahwa dirinya hanya mengenal
nama Kelly Kwalik pada saat peristiwa penyanderaan di Mapnduma tahun 1996 dan
korban mengaku hanya melihat wajah Kelly di koran.
Korban Tinus dipindahkan ke ruangan lain dalam rumah yang
sama. Didalam ruangan sudah ada warga Okilik lainnya yakni Bony Kalolik (20
th.), Kotilik Hilapok (55 th.) dan Pomaika Lani (60 th.). Dua nama terakhir
karena dianggap sudah tua, maka tidak mengalami penyiksaan berat seperti yang
dilakukan terhadap korban Tinus Matuan dan Bonny Kalolik. Kedua orang tua
diambil dari Okilik pada hari Jumat, 11 April dan langsung dibawa dan diinterogasi
di Kodim. Mereka tidur dalam keadaan gelap sampai hari Sabtu, 12 April pagi.
Tinus tetap dalam keadaan tangan terborgol. Jam 08.00 pagi, borgol ditangan
Tinus dibuka dan diberi makan nasi putih tanpa lauk dan sayur, sepiring dengan
Bony Kalolik. Sementara sepiring nasi putih yang lain diberikan untuk dimakan
bersama oleh Kotilik dan Pomaika. Pada malam harinya mereka tidak diberi makan.
Korban Tinus dan Bony disuruh menyapu ruangan tempat mereka ditahan. Setelah
itu keempat warga Okilik ini dimintai keterangan tentang jumlah anggota
keluarga, nama orang tua masing-masing, nama istri dan famili terdekat lainnya
termasuk alamat tempat tinggal mereka lalu dicatat oleh sorang tentara. Keempat
warga dibiarkan menunggu sampai jam 15.00 sore dan mereka baru diantar kembali
ke Napua dengan kijang berwarna biru tua (kendaraan ini belakangan diketahui
sebagai mobil Kopassus). Kepada mereka diberi supermi satu (1) dus dan ada
pasukan yang mengucapkan TERIMA KASIH sambil mengingatkan mereka untuk tidak
mempersoalkan lagi tindakan tentara (penyiksaan) selama beberapa hari terakhir
ini. Dari Napua, keempat warga dintar oleh famili mereka ke Desa Okilik dan
disambut sanak keluarga.
V.C.2. Penangkapan dan Penyiksaan terhadap Bony Kalolik (20
tahun)
Hari Jumat, 11 April 2003 pagi, sekitar enam orang anggota
TNI (diantar oleh anggota Kodim, Rudy Yelipele) datang ke honai milik Bony.
Sebelumnya, pada hari Kamis, 10 April pagi pasukan yang sama telah datang lebih
dulu dan rupanya mendapat salah satu surat berkepala : TPN/OPM Kodap II,
dikirim dari Posko TPN/OPM di Jl. Bayangkara, Wamena yang menurut kesaksian
John Hilapok ditujukan kepada Sdr. Tinus Matuan di Okilik. Surat tersebut
dibawa oleh Albert Kalolik, warga Kampung Witalak yang dalam setahun ini
tinggal bersama Bony di Okilik sehingga surat disimpan didalam noken didepan
honai miliknya. Korban sendiri tidak
43
mengetahui perihal surat tersebut. Dalam penyisiran pada
hari Jumat tersebut, masyarakat di honai-honai terdekat dikumpulkan di satu
tempat; sedangkan Bony bersama Pumaika Lani dibawa ke rumah Tinus Matuan yang
hanya beberapa meter dari honai miliknya. Mereka berdua lalu dibawa ke pinggir
jalan raya, diinterogasi tentang surat tersebut lalu diperintahkan untuk
membuka baju sambil ditendang dengan sepatu lars sebanyak 5 kali ke bagian
perut dan badan bagian belakang.
Dengan kayu dipukul ke tangan, bahu, badan bagian belakang
yang nampak luka berbetuk garis-garis hitam memanjang. Saat disiksa, kedua
tangannya telah diikat sangat kuat dengan tali dari sepatu lars yang berbahan
karet sehingga korban merasa sangat pedih sewaktu tali karet itu terkena sinar
matahari dan perlahan-lahan mencair sehingga melekat di kulit dari kedua
pergelangan tangan korban. Pada pergelangan tangan korban terlihat bekas ikatan
berupa lingkaran yang perlahan-lahan menghitam.
Tentara menggunakan tang menjepit puting susu korban dan
menariknya beberapa kali hingga membengkak. Dengan alat yang sama, tentara
menjepit kedua cuping hidung korban berlapis bulu-bulu hidung dan menariknya
kebawah secara kuat; menyebabkan korban kesakitan dan merasa pedih di mata
sampai korban sempat meneteskan air mata selama cuping hidungnya ditarik.
Selain dirinya, Pumaika Lani juga ditendang berkali-kali dan dipukul dengan
kayu di seluruh tubuhnya.
Bony mendapat siksaan yang hampir sama dengan Tinus. Saat
korban duduk, dua orang pasukan naik ke bahu korban dan menginjaknya
sebelah-menyebelah sambil menekan bahu korban dengan keras. Belakang korban
terus dipukul dengan kayu sampai berdarah. Di tempat itu Pumaika tidak mendapat
penyiksaan yang berat seperti yang dilakukan pada diri korban dan Tinus Matuan.
Sekitar jam 16.00 sore, bersama Tinus dan Pumaika dinaikkan ke truk kuning dan
dibawa ke Kodim Wamena. Selama di Kodim korban ditendang, bahunya diinjak
dengan sepatu lars sambil pasukan yang lain menolak mulutnya secara keras
dengan menggunakan sepatu lars juga.
V.D. Penahanan Para Tersangka.
Selama ini terdapat sejumlah orang yang ditahan secara
resmi; pada tanggal 28 April terdapat 7 orang ditahan di Kepolisian Jayawijaya
Wamena, sedangkan 9 orang yang berstatus tersangka ditahan oleh Polisi Militer
di Jayapura.
Daftar nama orang yang di tahan di Kepolisian Resort
(Polres) Jayawijaya, Wamena.
No.
N a m a
Umur
Pekerjaan
Alamat
01
KIMANUS WENDA
46 Thn
Tani
Desa Honai lama Wamena Kota
02
ENOS LOKOBAL
37 Thn
Tani
Desa Pugima Wamena
44
03
KANIUS MURIP
50 Thn
Tani
Desa Napua Wamena kota
04
YAPREY MURIP
19 Thn
Pelejar
SMU PGRI Wamena
Kota Wamena
05
NUMBUNGGA TELENGGEN
26 Thn
Tani
Desa Napua, Wamena
06
DES WENDA
Thn
Tani
Wamena
07
MICHAEL HESELO
31 Thn
Tani
Desa Wouma, Wamena
Catatan : Khusus Tersangka Maichel Heselo sudah dialihkan
dari
Polres Wamena ke Polda Papua di Jayapura sejak Selasa
tanggal 29 April 2003.
Sebenarnya masih sangat kurus informasi Tim Koalisi sekitar penangkapan
dan dugaan penyiksaan terhadap para tahanan ini. Dari 7 tahanan di Kepolisian
Jayawijaya diketahui bahwa 6 diantara mereka ditangkap dan langsung ditahan
oleh pihak TNI; yang ke-7 – Michael Heselo - menyerahkan diri kepada polisi
pada tanggal 21 April 2003. Kemudian seorang calon tersangka lainnya, yakni
Yapenas Murib, yang juga sempat ditangkap dan ditahan oleh TNI, meninggal dunia
pada tgl. 14 April 2003 saat masih berada dalam tahanan Kodim Wamena. Lima
tersangka pertama yang dicatat diatas ditahan di Markas Kodim 1702 selama 4
hari atau lebih untuk diinterogasi, kemudian pada hari Selasa tanggal 15 April
tahun 2003 diserahkan ke MaPolres Jayawijaya-Wamena.
Sewaktu 5 tahanan (no. 01 s/d 05) diserahkan oleh TNI kepada
Polisi – tersangka Des Wenda baru bergabung dengan mereka pada tanggal 19 April
- Polisi meminta visum keadaan kesehatan lima tersangka itu di RSUD Wamena. Dr.
Berry Wopari yang memeriksa dan mengeluarkan visum atas 5 (lima) orang
tersangka yang dibawa oleh petugas kepolisian menjelaskan bahwa kelima orang
tersangka yang dibawa oleh petugas kepolisian tersebut dalam keadaan fisik
babak belur (luka serius) dan dalam keadaan sakit, kecuali tersangka Kanius
Murib.
Sedangkan tersangka Michael Heselo ditahan di Polres setelah
menyerahkan diri pada tgl. 21 April 2003 karena ketakutan setelah begitu lama
dikejar-kejar oleh Milisi, Polisi dan TNI. (Keterangan disampaikan langsung
oleh tersangka saat ditemui oleh Tim Penasehat Hukum Koalisi LSM di ruang Serse
Polres Wamena, pada tanggal 28 April 2003).
Selama dalam tahanan polisi Michael Heselo telah mendapat
tindakan-tindakan penyiksaan yang serius yang menyebabkan kondisi fisiknya
menjadi terganggu, lemas, perut terasa mual-mual dan tidak bisa mengunyah
makanan karena mulutnya luka parah akibat berbagai bentuk
45
pemukulan yang diarahkan disekitar mulut korban. Berdasarkan
pengamatan langsung oleh Tim Koalisi dan keterangan oleh korban sendiri
mengenai penyiksaan yang telah dialaminya memang didukung kuat oleh tanda-tanda
fisik sbb.: (saat ditemui di kantor polisi, luka-luka ini dibalut dengan perban
putih dan lainnya ditutup dengan plester)
seluruh tubuh penuh
luka bakar berbentuk garis memanjang dan kecil-kecil,
wajah membengkak, kedua
pelipis membiru,
rahang kiri dan kanan
terasa goyang karena pukulan,
kuku ibu jari tangan
kanan dicabut sedangkan jari telunjuk sebelah kanan luka karena ditindis dengan
kaki meja,
juga kedua ibu jari
kaki di tindis dengan kaki meja sampai luka,
kuku ibu jari kaki kiri
dicabut, dan
tulang kering kaki
kanan ditendang dengan menggunakan sepatu lars hingga luka parah.
Mengenai 9 tersangka yang berada ditahanan Polisi Militer di
Jayapura, hingga kini belum ada keterangan berarti selain dicatat di
Cendrawasih Pos (CEPOS) terbitan hari Kamis, 24 April 2003. Kesembilan
tersangka ini dikenakan sanksi dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah
petugas yang lalai dalam melaksanakan tugasnya saat piket dan dikenakan pasal
118 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Mereka terdiri
dari enam orang, yakni: Serma Karel Itlay (KI), Sertu Pilemon Pawika (PP),
Kopka Paus Kogoya (PK), Pratu Eduardus Kimbirop (EK), Sertu YM dan Kopda MIJ.
Kategori kedua adalah anggota yang turut serta melakukan pembongkaran, seperti
memberikan kesempatan, memberikan informasi dan menunjukkan lokasi : dikenakan
pasal 67 ayat 1 poin ke 1 KUHPM, pasal 55 junto pasal 363 ayat 1 poin ke
2,3,4,5 dan ayat 2 KUHP yakni Sertu Ferianus Jikwa. Dan kategori ketiga adalah
anggota yang menanggalkan alat-alat perang atau memberikan alat perang kepada
orang lain yakni Lettu Inf. Felius Wenda (FW) dan Sertu Iton Kogoya (IK).
Mereka dikenakan pasal 148 ayat 2 KUHPM.
46
BAGIAN VI
SEKITAR KEMATIAN TERSANGKA :
SDR. YAPENAS MURIB
Yapenas Murib meninggal dunia pada tanggal 14 April 2003
selama berada dalam tahanan Kodim 1702 di Wamena. Menurut Dandrem Jayapura,
Kol. (Kav) TNI-AD Agus Mulyadi dalam pertemuan dengan Tim Koalisi, korban
meninggal karena menderita sesak nafas, dua kali mengalami kesulitan menelan
makanan dan sempat dibawa ke rumah sakit tetapi tidak tertolong. Ditambah oleh
Dandrem bahwa selama korban berada di tahanan Kodim, korban diperlakukan dengan
baik, tidak ada tindak kekerasan yang dilakukan terhadap diri korban. Menurut
Dandrem, hal ini perlu disampaikan guna menghindari pernyataan yang
simpang-siur dan cenderung menyalahi institusi tertentu, dalam hal ini pihak
TNI. Menurut Dandrem hasil visum dokter menunjukan bahwa Yapenas Murib
meninggal akibat saluran pernafasan pada lehernya terganggu.
Menurut keterangan dari pihak keluarga, ketika jenazah
korban diambil dari rumah sakit terdapat tanda-tanda kekerasan pada tubuh
korban yaitu pada leher terdapat tanda-tanda berwarna biru bekas jeratan tali.
Rusuk sebelah kanan terdapat tanda lingkaran kebiru-biruan yang diindikasikan
sebagai bekas hantaman benda tumpul. Lidah dalam keadaan menjulur keluar.
Mengingat bahwa banyak masyarakat kurang yakin mengenai
sebab kematian Yapenas Murib sebagaimana terungkap diatas, Tim Koalisi telah
berusaha untuk menelusuri suasana yang ada menjelang dan pada saat kematian
Sdr. Yapenas. Untuk itu, pada bagian ini dicatat hal-hal yang terjadi sejak
Yapenas diserahkan menjadi tahanan Kodim 1702 di Wamena.
VI.1. Kronologi Kematian Yapenas Murib di Tahanan Kodim
1702/Wamena
(Keterangan diperoleh dari dua saksi yang terlibat langsung
dalam kasus Yapenas)
Kamis, 10 April 2003
Yapenas Murib yang telah ditemukan, diserahkan kepada
Kopassus walaupun bertentangan dengan kesepakatan bersama antara tokoh agama,
tokoh masyarakat dan pihak keluarga dan kesepakatan awal antara utusan
masyarakat dan Pangdam serta Dandim (lihat Bab IV). Sebelum menyerahkan Yapenas
ke tangan Kopassus, beberapa tokoh masyarakat dan tokoh gereja dari Napua
memberi saran sebagai penguatan kepada korban bahwa, “jangan kamu
47
takut, harus menjawab semua pertanyaan dengan jujur dan apa
yang kau tau dan lakukan harus sampaikan pula dengan berani. Karena keberanian
dan kejujuran, kau akan selamat”.
Jumat, 11 April 2003
Siang harinya atas laporan intel, sekitar pukul 14.30 wit Guru
Hantor Matuan dan Guru Benyamin Matuan disuruh menghadap Dandim untuk
mempertanggungjawabkan laporan masyarakat bahwa pada Kamis malam, 10 April 2003
kedua tokoh memimpin rapat di Napua dan merencanakan akan menyerang kota
Wamena. Kedua guru bertemu dengan Dandim dan menjelaskan bahwa, “memang betul
kami mengadakan rapat Kamis malam di Napua, dalam rapat tersebut kami tidak
membicarakan lain-lain hal, kami hanya sepakat untuk mencari dan menyerahkan
saudara Yapenas Murib dan hasilnya memang tadi kami sudah menyerahkan saudara
Yapenas Murib kepada bapak. Siapa yang melapor hal ini, orang itu hanya cari
makan saja”, kata Hantor Matuan menjawab pertanyaan Dandim.
Senin, 14 April 2003
Sekitar jam 08.30 wit, dua orang Kopassus yang ditugaskan di
Napua, menyampaikan kepada kedua tokoh masyarakat (Hantor Matuan dan Benyamin
Matuan) bahwa Dandim memanggil keduanya untuk menghadap Dandim. Keduanya pergi
ke Kodim dan Komandan Kopassus yang menerima mereka. Sikap Komandan Kopassus
tidak begitu ramah terhadap mereka berdua. Dengan emosi kedua tokoh masyarakat
asal Napua ini ditegur, “kamu dua yang mengarahkan Yapenas Murib untuk
berbicara; sebenarnya masih ada senjata yang lain tapi kamu dua yang menyuruh
agar hanya 3 (tiga) buah saja yang dikembalikan”. Dengan rasa takut dan gugup
atas sikap Komandan Kopassus tersebut, Hantor Matuan menjawab, “memang kami
mengarahkan dia agar dia jangan takut dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
saat interogasi secara jujur dan benar, sesuai dengan pertanyaan dan juga
mengarahkan dia supaya tidak menyampaikan hal yang dia tidak tahu karena akan
menyesatkan dia sendiri. Kami hanya menyampaikan sebatas itu sebelum
menyerahkannya kepada bapak-bapak”.
Komandan Kopassus dengan sikap yang tidak yakin atas jawaban
tersebut langsung memerintahkan agar Yapenas Murib dikeluarkan dari tempat ia
ditahan dan diinterogasi. Yapenas dikeluarkan dalam keadaan tubuhnya sangat
lemas dan matanya dalam keadaan terikat dengan kain hitam. Komandan Kopassus
langsung bertanya kepada Yapenas, “siapakah yang mengarahkan kamu untuk bicara
dan mengembalikan hanya 3 buah senjata?” Dalam keadaan mata tertutup Yapenas
menjawab : “Hantor Matuan dan Benyamin Matuan”.
Setelah itu Yapenas dibawa masuk lagi kedalam ruangan
interogasi, Komandan Kopassus mengatakan “kamu dua sudah dengar sendiri
pengakuan Yapenas, mengapa kamu diam saja ?“. Dengan rasa takut namun dengan
jujur Hantor Matuan menjawab, “Bapak, sungguh kami tidak pernah mengarahkan dia
seperti itu”. Komandan Kopassus mengatakan lagi bahwa “selama ini kami percaya
kamu, tapi kamu ini pintar-pintar bicara, tipu saja”. Akhirnya Komandan
Kopassus mengatakan, atas perintah Dandim kedua tokoh harus mencari dan membawa
Bp. Inapik Murib
48
(56 th.), ayah kandung Yapenas Murib ke Kodim. Ditegaskan
juga bahwa Dandim memesan keduanya harus menghadap Dandim sekitar pukul 20.00
atau 21.00 wit (malam hari) di Kodim.
Sekitar pukul. 15.30 wit, pasukan gabungan Kostrad dan
Kopassus membawa Yapenas Murib, Kanius Murib dan seorang tahanan lagi yang
namanya tidak diketahui oleh para saksi untuk mengadakan rekonstruksi. Mereka
dibawa dari Kodim ke arah Sinakma, Wamena dalam keadaan tangannya diikat
kebelakang dan diperintahkan jalan kaki mulai dari SMU YPPGI ke Napua. Yapenas
Murib, selain tangannya diikat, lehernya diikat dengan tali ke arah kiri, ke
kanan dan ke belakang, lalu dipegang oleh pasukan. Menurut para saksi mata,
disepanjang jalan tali yang diikat pada leher Yapenas ditarik ke kiri dan
kanan; disuruh lari namun saat korban lari, tali yang ada pada lehernya ditarik
ke belakang. Bila terjatuh, korban ditendang, disuruh berdiri. Menurut saksi
mata dari keluarga korban sendiri (Ibu MB) dalam perjalanan Yapenas disuruh
berdiri, walaupun tubuhnya sudah lemas dia ditarik ke kiri dan kanan, tali yang
ada pada lehernya juga ditarik-tarik. Hal ini dilakukan pada Yapenas sepanjang
perjalanan sekitar tiga kilometer dari Sinakma sampai di Kampung Yelekama, Desa
Napua. Sedangkan untuk kedua orang lainnya hanya berjalan sampai di Kompleks
Yilekma, Sinakma Atas.
Sekitar Pukul 18.30 wit, mereka dibawa pulang dengan
menggunakan truk. Setibanya di Kodim Wamena sekitar pukul 18.45 wit. Ia diberi
makan dan minum namun tidak dapat ditelan. Dengan demikian sekitar pukul 19.00
wit korban dibawa ke ruangan Unit Gawat Darurat (UGD) RSUD Wamena, namun tidak
dapat tertolong. Yapenas Murib menghembuskan napasnya yang terakhir.
VI.2. Hantor Matuan dan Benyamin Matuan ke Kodim Wamena
Pukul 20.00 wit. Sesuai pesan yang disampaikan oleh Komandan
Kopassus untuk menghadap Dandim, dua tokoh masyarakat dari Napua datang ke
Kodim. Setibanya di Kodim mereka bertemu dengan Jimmy Asso (AngotaTNI) dan
Jimmy menanyakan maksud kedatangan mereka. Oleh Hantor Matuan dijawab bahwa
kedatangan mereka karena panggilan Dandim untuk menghadap pada jam tersebut.
Dengan ragu dan rasa tidak yakin Jimmy mengatakan, karena waktu sudah malam,
maka dirinya sebagai kakak/famili harus mendampingi keduanya selama berada di
Kodim. Menurut Jimmy, mereka jangan dibiarkan berada sendirian di Kodim.
Beberapa menit kemudian Komandan Kopassus datang dan menemui mereka dengan
senyum dan wajah yang ceria; tidak seperti pada pertemuan sebelumnya siang
tadi. Komandan Kopassus mengatakan kepada kedua tamu, “tunggu sebentar, saya
sampaikan dulu sama pak Dandim”. Namun menurut pantauan Hantor Matuan, Benyamin
Matuan dan Jimmy Asso, Komandan Kopassus tidak serius pergi ke Dandim, dirinya
hanya keluar ruangan tersebut lalu kembali dan menyampaikan bahwa Pak Dandim
lagi sibuk sehingga tidak bisa bertemu dengan kedua tamu. Hal ini dikatakannya
sambil meremas-remas paha dari guru Hantor Matuan dengan mimik yang ramah.
49
Sementara Komandan Kopassus, Jimmy Asso, Hantor Matuan dan
Benyamin Matuan sedang duduk, tiba-tiba seorang anggota Kopassus datang dan
melaporkan bahwa Yapenas Murib sudah meninggal dan jenazahnya ada di rumah
sakit. Komandan Kopassus langsung mendesak kedua tamu dan juga Jimmy Asso agar
pergi bersama ke rumah sakit untuk melihat jenazah Yapenas dan Komandan
Kopassus menyuruh kedua guru untuk membawa pulang jenazah Yapenas ke Napua. Desakan
tersebut ditolak oleh kedua guru yang sekaligus tokoh masyarakat tersebut
dengan mengatakan bahwa, “kami sudah serahkan Yapenas dengan baik-baik sesuai
dengan kesepakatan awal, tetapi kanapa kamu kembalikan kepada kami dalam bentuk
Jenazah ? Kami tidak mau terima”.
Kedua tokoh masyarakat langsung pulang ke Napua dan
sementara waktu merahasiakan kejadian tersebut kepada keluarga dan masyarakat
setempat guna menghindari kesalahpahaman diantara masyarakat sendiri sehubungan
dengan perjalanan mereka ke Kodim Wamena dan kematian korban.
Selasa, 15 April 2003
Sementara masyarakat di Napua sedang berdiskusi tentang
permintaan Komandan Kopassus pada hari Senin, 14 April 2003 kemarin agar
masyarakat menyerahkan Inapik Murib, ayah (almarhum) Yapenas kepada Kopassus,
tiba-tiba mobil garnisun Kodim datang dan anggota TNI Kodim 1702 Wamena
menyampaikan bahwa Yapenas telah meninggal, dan keluarga diminta turun ke kota
untuk mengambil jenazahnya. Mendengar berita tersebut sambil menangis
masyarakat dan kedua tokoh masyarakat sangat marah dan memaki-maki Dandim dan
Pangdam karena sesuai kesepakatan, mereka telah menyerahkan Yapenas secara
baik-baik kepada pihak TNI. Namun mengapa korban harus dikembalikan dalam
bentuk mayat? Hal tersebut disampaikan kepada anggota Kodim yang datang agar
dilaporkan kepada Dandim dan Pangdam di markas Kodim Wamena.
Siangnya keluarga almarhum turun ke kota menghadap Dandim
dan menuntut kembali janji Dandim yang disepakati sejak awal bahwa “pelaku
tidak akan diapa-apakan”. Ditegaskan oleh keluarganya bahwa cara tersebut
sangat tidak baik dan keluarga almarhum sangat marah kepada Dandim. Hal ini
dikatakan kepada Dandim di hadapan tim investigasi dari Mabes TNI dari Jakarta
yang hadir saat itu. Ditambahkan oleh masyarakat, almarhum adalah pelaku yang
juga sebagai saksi hidup sehingga mengapa harus dihilangkan? Masyarakat menilai
tindakan itu tidak baik dan mereka sudah tidak percaya lagi kepada Dandim
Wamena.
Tanggapan dari Dandim bahwa dirinya juga sangat menyesali
kejadian itu. Sambil menangis Dandim mengatakan, “saya juga tidak sangka akan
terjadi begini. Biarlah anggota saya juga dua orang yang mati, masyarakat juga
dua yang mati jadi sudah dua sama. Masyarakat terima sajalah. Masa depan saya
juga sudah hancur, ini saya punya saksi yang kuat sebagai anak muda, mengapa
dia harus mati”. 50
Akhirnya dengan penuh penyesalan dan merasa dibawah tekanan
keluarga menerima jenazah secara adat. Jenazah Almarhum Yapenas Murib dibawa
pulang ke Honai Umum Pos Napua, disemayamkan sebentar dan selanjutnya dimakamkan
di pekuburan umum Sinakma – Wamena.
VI.3 Kesaksian atas suasana yang mengakibatkan kematian
Yapenas Murib
VI.3.1. Saksi I, Welius Yelipele, 23 tahun
(pada saat kejadian, saksi sedang menjaga di PLTD Sinakma).
Pada hari Senin, 14 April saksi sempat melihat dari rumah
jika almarhum diperintah jalan ke arah Napua dalam keadaan kedua tangannya
terikat dan rambutnya sudah dicukur (sebelumnya korban dikenal berambut tebal
dan panjang). Ikatan tangannya dibiarkan berjuntai sambil dipegang oleh salah
satu pasukan. Tentara yang mendampinginya bersenjata dan berseragam lengkap.
Malam hari, istri Welius mengatakan juga bahwa sewaktu pasukan membawa almarhum
dari kota ke Napua siang tadi, tangannya dalam keadaan diikat; lehernya diikat
sambil talinya ditarik tentara ke arah kiri, kanan dan belakang sepanjang
perjalanan.
VI.3.2 Saksi II, petugas medis UGD rumah sakit
(disampaikan kepada tim hari Senin, 21 April pagi)
Pada hari Senin, 14 April 2003 almarhum Yapenas diantar oleh
sejumlah anggota TNI dan Polisi ke ruang UGD RSUD Wamena sekitar jam 19.00 wit,
sebetulnya sudah meninggal dunia. Edius Mabel (Kepala ruangan UGD dan perawat
di UGD malam itu) ditugaskan oleh dr. Wahyu Prasetyo Nugroho, dokter jaga di
UGD saat itu untuk menyuntik formalin pada tubuh almarhum. Perawat hanya sempat
membuka penutup kakinya guna mencari nadi untuk diformalin, dan sempat melihat
kedua kakinya dalam keadaan bengkak. Yang mengamati tubuh almarhum secara
keseluruhan adalah dr. Prasetyo, tapi tidak dilakukan autopsi. Perawat di
bagian bedah menyatakan, malam itu korban tidak dibawa ke ruangan bedah untuk
dilakukan autopsi. Dokter hanya melakukan pemeriksaan bagian luar.
Pengamatan tubuh korban juga tidak dapat dilakukan malam itu
oleh petugas medis karena jenazah korban dijaga ketat oleh anggota TNI, dalam
keadaan berseragam lengkap dan bersenjata. Jenazah disimpan di UGD sampai hari
Selasa siang, diambil oleh keluarga melalui Hantor Matuan dan dibawa ke
kampungnya di Napua. Dimakamkan di pekuburan umum kota Wamena.
VI.3.3. Saksi III, Dokter Berry Wopari
(dokter yang bertugas di bagian UGD)
Dijelaskan bahwa jenazah Yapenas Murib dibawa oleh TNI
sekitar jam 19.00 langsung ke ruang UGD. Dokter jaga pada saat itu adalah dr.
Wahyu S. Nugroho. Sedangkan dirinya sendiri sudah
51
pulang karena jam dinasnya sudah selesai. Ketika datang
keesokan paginya, ia melihat jenazah yang dijaga oleh TNI dengan ketat.
Kebetulan pada saat itu dokter Berry berpapasan dengan dokter Wahyu Nugroho
(dokter jaga) yang kemudian dijelaskan oleh dokter jaga tersebut bahwa jenazah
Yapenas Murib dibawa ke UGD sudah dalam keadaan meninggal dan tidak dilakukan
pemeriksaan dalam atau autopsi, melainkan pemeriksaan luar. Beberapa saat
kemudian petugas kepolisian datang dan bertemu dengan dokter Berry, memintanya
untuk melakukan pemeriksaan dan melihat tanda-tanda kekerasan pada tubuh
jenazah. Setelah dilihat dengan seksama, ternyata pada tubuh jenazah Yapenas
Murib ditemukan tanda-tanda berwarna kebiru-biruan di bagian belakang dekat
rusuk korban.
Sebetulnya ketika ditanya oleh Tim Koalisi perihal visum6
yang diberitakan di koran Cenderawasih Pos, dr. Berry Wopari sendiri merasa
bingung tentang kesimpulan visum atas kematian Yapenas Murib tersebut. Sebab
sepanjang sepengetahuannya kesimpulan atas penyebab kematian bagian dalam harus
dilakukan melalui autopsi.
VI.3.4. Saksi IV, dokter Wahyu S. Nugroho
(dokter jaga UGD pada saat kejadian)
Mengenai jenazah Yapenas Murib dikatakan bahwa almarhum
Yapenas Murib dibawa ke Unit Gawat Darurat RSUD Wamena sudah dalam keadaan
meninggal dunia. Pada saat itu tidak sempat diadakan pemeriksaan dalam karena
peralatan medis yang ada di RSUD Wamena tidak lengkap dan dirinya bukanlah ahli
bedah. Lagi pula sesuai dengan surat permintaan visum dari Dandim 1702 / Wamena
atas jenazah Yapenas, hanya diminta untuk pemeriksaan luar. Menurut pengakuan
dr. Wahyu Nugroho, dalam visum tersebut tidak dikatakan bahwa almarhum
meninggal karena tersumbatnya saluran pernapasan bagian atas; mengingat dirinya
tidak melakukan pemeriksaan bagian dalam.7
6 Tim Koalisi tidak pernah dapat melihat visum sendiri;
visum disimpan oleh Kodim 1702/Wamena.
7 Bandingkan dengan pemberitaan di Harian Cenderawasih Pos,
Rabu 16 April 2003 bahwa :”berdasarkan visum yang dikeluarkan dari RSUD Wamena
dengan Nomor 352/21/VR/2003 yang ditandatangani oleh dr. W. Setyo Nugroho,
almarhum Yapenas Murib meninggal akibat menderita sakit pernapasan”. Keterangan
Dandim 1702/Wamena, Letkol Kav. Masrumsyah pada terbitan yang sama :”saudara
kita itu meninggal akibat suatu penyakit. Dari keterangan dokter, dia menderita
penyakit pernapasan”. 52
BAGIAN VII
Pendampingan hukum dan proses penyidikan terhadap para
tahanan
Untuk keperluan pendampingan hukum bagi para tersangka dalam
kasus pembongkaran gudang senjata milik Kodim Wamena ini, sudah diupayakan oleh
Tim Koalisi bersamaan dengan kerja investigasi di Wamena. Usaha yang sedang
dilakukan Tim baik di Jayapura maupun di Wamena dalam rangka pendampingan
terhadap para tersangka militer yang kini ditahan di tahanan Polisi Militer
Kodam (Pomdam) Trikora di Jayapura. Pendampingan hukum yang sedang diupayakan
dimaksudkan selain untuk memenuhi hak-hak para tersangka didepan hukum, juga
dimaksudkan agar dengan adanya penasehat hukum diharapkan para tersangka
menjadi mampu untuk mengungkapkan sejauh mana posisi dan keterlibatan mereka
dalam peristiwa pembongkaran gudang senjata ini sehingga menjamin terciptanya
proses penegakkan hukum yang adil dan juga dapat menjadi pelajaran bagi
masyarakat banyak guna mencegah terulangnya kejadian yang sama. Berikut ini
diuraikan upaya yang sudah dilakukan tim dan berbagai hambatan yang dialami
selama ini.
VII.A. UPAYA DITINGKAT POLRES JAYAWIJAYA, Wamena
Pada hari Rabu, 16 April 2003, bersamaan dengan kedatangan
Tim Koalisi dari Jayapura, untuk pertama kali tim melakukan pertemuan dengan
Kapolres, Drs. Agung Makbul, SH di Mapolres Jayawijaya, Wamena. Pertemuan ini
dalam rangka membicarakan keperluan pendampingan hukum terhadap para tersangka
yang sedang ditahan di Mapolres Jayawijaya, di Wamena. Selain Tim Koalisi LSM,
pertemuan dihadiri juga oleh Kasat Serse Polres, Bp. Rony dan Kasat Intel
Polres. Dalam pertemuan ini Kapolres mengakui bahwa kasus pembongkaran gudang
senjata Kodim Wamena telah menjadi perhatian seluruh masyarakat Wamena, Papua,
nasional bahkan di tingkat internasional. Merupakan masalah hukum yang
semestinya diselesaikan sesuai prosedur yang berlaku.
Suasana keamanan di Wamena ditingkatkan menjadi Siaga I
setelah kejadian. Baru berubah ke Siaga II sejak hari Selasa, 15 April 2003.
Semua anggota Polres Wamena diperintahkan berjaga-jaga sehingga hampir semuanya
tidur di Mapolres dalam beberapa hari ini. Lima tersangka atas nama : Kanius
Murib (50 th.), Kimanus Wenda (46 th.), Enos Lokobal (37 th.), Numbungga
Telenggen (26 th.), Yaprei Murib (19 th.), sudah ditahan selama minimal empat
hari tahanan Kodim dan baru diserahkan kepada pihak kepolisian Resort (Polres)
Wamena pada hari Selasa, 15 April 2003 sekitar jam 11.00 wit. Kapolres
memerintahkan kelima tersangka divisum. Menurut
53
pengakuan Kapolres, empat orang dalam keadaan baik8. Hanya
Numbungga Telenggen yang menderita luka tembak di bagian dada kanan, perut dan
paha kanan. Yaprei Murib terluka dibahu karena terkena kawat saat meloloskan
diri pada malam penyerangan.
Ditambahkan oleh Kapolres bahwa menurut keterangan pihak
Kodim, barang bukti yang ditemukan pada tersangka adalah: tiga (3) pucuk
senjata api M-16 yang diserahkan oleh Kades Napua kepada Pangdam Trikora.
Setelah tiga senjata tersebut diserahkan, barulah para pelaku ditemukan didalam
honai-honai di Napua oleh Tim Khusus Pangdam (Bandingkan keterangan dari saksi
dalam Bagian IV.A.1. untuk hal yang sama). Sedangkan barang bukti lainnya yang
ditemukan oleh pihak kepolisian adalah di Sinakma dan Welesi (lokasi jaringan
PLN) yaitu, dua pelepah pisang basah dan satu buah tali hutan berukuran hampir
20 meter yang dipergunakan penyerang untuk mengacau jaringan listrik ke kota
Wamena pada malam kejadian. Sementara linggis dan besi ditemukan dekat gudang
senjata; selongsong peluru kemungkinan sudah dibersihkan.
Bukti lainnya menurut Kapolres, perencanaan-perencanaan
sebelum serangan, dua dari lima tersangka mengaku terlibat dalam penyerangan :
Numbungga Telenggen yang mengikuti dua kali rapat yakni pada tanggal 29 Maret
2003 dirumah Kimanus Wenda di kampung Honai Lama yang dihadiri oleh 40 orang
dan rapat berikutnya dilakukan di Desa Napua, di Rumah Yapenas Murib pada
tanggal 3 April 2003, hari Kamis, jam 22.00 wit untuk pembagian tugas
penyerangan. Dalam penyerangan tersebut dikatakan Yustinus Murib hadir dengan
tugas mengawasi situasi dan kondisi Kodim. Sedangkan tersangka Kanius Murip,
masuk ke Kodim dan mengawasi petugas jaga di ruang jaga, pintu masuk utama ke
kompleks Kodim. Kode penyerangan berupa matinya lampu karena aliran listrik
terputus. Almarhum Yapenas Murib sempat menggendong tersangka Numbungga
Telenggen keluar dari Kodim ke Kampung Napua dan sempat diobati secara
tradisional sebelum tersangka Numbungga dibawa ke Kodim.
Dari penyerangan dan pembongkaran gudang senjata di Kodim
Wamena, Kapolres mensinyalir bahwa anggota sipil maupun Kodim 1702 Wamena
terlibat. Korban yang ditembak mati oleh Dandim bernama Erman Tabuni, sedangkan
menurut masyarakat korban sebetulnya bernama Titus Murib.
Kepada Kapolres, tim menawarkan kesediaannya untuk
mendampingi para tersangka secara hukum, baik dalam pemeriksaan di kepolisian
hingga proses hukum ditingkat pengadilan. Kapolres menyambut baik tawaran
tersebut dan berjanji akan mengontak tim koalisi dalam beberapa hari mendatang
bila dilakukan pemeriksaan terhadap para tersangka dalam rangka pembuatan
Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Tim sempat mengajukan permintaan untuk bertemu
dengan kelima tersangka yang sedang ditahan saat itu juga, namun permintaan ini
8 Menurut keterangan dari dokter Berry Wopari yang melakukan
visum tersebut bahwa kelima tersangka saat dibawa dari Kodim ke UGD RSUD Wamena
untuk divisum, dalam keadaan fisik yang babak-belur. 54
ditolak oleh Kapolres dengan alasan, para tersangka sedang
menjalani pemeriksaan yang intensif oleh anggota Polres.
Atas permintaan Tim Koalisi untuk berkunjung ke Napua,
lokasi PLN dan sejumlah lokasi kejadian lainnya, menurut Kapolres dari sisi
keamanan sedang dilakukan sterilisasi (pembersihan oleh TNI) sehingga ada
pasukan di lokasi-lokasi tersebut. Misalnya, untuk lokasi PLN di Sinakma dan
Welesi sedang ditempatkan anggota polisi untuk melakukan penjagaan. Fakta di
lapangan setelah adanya kunjungan Tim Koalisi pada hari Minggu tanggal 20 April
2003, lokasi PLN di Desa Welesi dijaga oleh 16 anggota TNI dari Kesatuan
Kopassus dan 4 orang anggota kepolisian dari Polres Wamena.
VII.B. PROSES PENYIDIKAN PARA TERSANGKA SIPIL.
Proses penyidikan (pemeriksaan) ditingkat Kepolisian Resort
Wamena terhadap enam tersangka sipil dalam rangka penyusunan Berita Acara
Pemeriksaan (BAP), dilakukan oleh penyidik Polisi pada tanggal 18 April 2003.
Sayangnya, proses pemeriksaan ini tidak dikomunikasikan oleh pihak Polres
Wamena kepada Tim Koalisi yang sebetulnya telah menawarkan kepada Kapolres
Jayawijaya suatu bantuan pendampingan hukum terhadap para tersangka bila
diperiksa seperti ini. Pihak Polres kemudian menunjuk Sdr. Fantrisno Tagihuma,
SH (seorang pengacara praktek di Wamena). Dari informasi yang disampaikan oleh
Sdr. Fantrisno, para tersangka nampaknya telah mendapat penganiayaan yang berat
sehingga saat pemeriksaan hari itu di kepolisian ada tersangka yang masih
berlumuran darah, maka disarankan kepada Tim Koalisi LSM untuk segera bertemu
para tersangka agar dapat mengidentifikasi kondisi fisik mereka.
Setelah pemeriksaan di kepolisian tersebut, dalam pertemuan
dengan Tim Koalisi Sdr. Fantrisno menyampaikan keputusan Kapolres yang telah
memberikan Surat Penunjukan kepada dirinya sebagai Kuasa Hukum dalam rangka
pendampingan para tersangka. Tim menjelaskan bahwa Sdr. Fantrisno juga telah
dicantumkan sebagai salah satu Kuasa Hukum para tersangka yang tergabung
didalam Tim Penasehat Hukum Koalisi LSM. Pada dasarnya ia setuju untuk bekerja
sama. Dirinya kemudian mengaku terkejut dengan penjelasan tim bahwa tim telah
menawarkan kepada Kapolres untuk menjadi Kuasa Hukum bagi para tersangka
sehingga tim merasa cukup bingung dengan kebijakan Kapolres yang melakukan
penunjukkan penasehat hukum kepada Sdr. Fantrisno. Penunjukan penasehat hukum
ini kemudian menjadi sandungan yang cukup berarti bagi upaya tim untuk bertemu
dengan para tersangka di tahanan Polres Wamena. Sekalipun tim berupaya untuk
mendiskusikannya dengan Kapolres, namun Kapolres tetap bertahan dengan
keputusannya yang telah secara resmi menunjuk Sdr. Fantrisno, SH. Setelah
melakui diskusi yang cukup alot dan atas alasan kepentingan keluarga, Sdr.
Fantrisno akhirnya memutuskan untuk mundur sebagai penasehat hukum para
tersangka, baik sebagai pribadi maupun dari gabungan Tim Penasehat Hukum
Koalisi LSM.
55
Dalam pertemuan terakhir dengan Kapolres Jayawijaya pada 29
April 2003, Tim Koalisi LSM tetap tidak diijinkan untuk menemui bahkan
menyerahkan Surat Kuasa untuk ditandatangani dengan alasan bahwa, proses
pemeriksaan di kepolisian telah selesai dilakukan. Kendati telah disampaikan
bahwa pertemuan dengan tersangka maupun penandatanganan Surat Kuasa tidak
dimaksudkan untuk mengganggu hasil penyidikan yang sudah dilakukan Polisi
bersama Penasehat Hukum Fantrisno, SH. Kapolres tetap pada sikapnya dan
menganjurkan Penasehat Hukum dari Tim Koalisi untuk memberikan Surat Kuasa
kepada para tersangka setelah kasus mereka sudah dilimpahkan kepada Kejaksaan
Negeri di Wamena nanti. Tim hanya diijinkan bertemu dengan tersangka Michael
Heselo di ruang Serse Polres dan tim memintanya menandatangi Surat Kuasa untuk
bisa didampingi Penasehat Hukum saat pemeriksaan di kepolisian hingga proses
peradilan nanti. Dalam komunikasi dengan tersangka sekitar lima belas menit,
disampaikan bahwa tersangka berhak untuk meminta perawatan dari polisi atas
luka-luka yang dideritanya akibat penyiksaan selama berada di tahanan. Anggota
Serse yang memeriksanya berjanji kepada tim bahwa proses penyidikan Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) atas nama Michael Heselo baru akan dilaksanakan pada
hari Kamis, 1 Mei 2003.
Namun pada hari Selasa, 29 April 2003, pukul 07.30 wit, Tim
Koalisi dikejutkan dengan tindakan kepolisian yang mengalihkan tahanan
(tersangka Michael Heselo) dari Polres Wamena ke Polda Papua di Jayapura tanpa
sepengatahuan tim selaku Penasehat Hukum tersangka, Michael Heselo. Tersangka
diterbangkan ke Jayapura saat itu dengan menggunakan penerbangan milik Trigana
Air Service dengan pengawalan ketat oleh Polisi dan Brimob di Bandara Wamena
hingga diatas pesawat. Tersangka dalam keadaan tangan diborgol, didampingi oleh
dua orang anggota Serse Polres Jayawijaya, Wamena dengan berpakaian preman.
Tiba di bandara Sentani, Jayapura tersangka dan kedua polisi pengantar dijemput
oleh anggota Serse Polda Papua yang juga berpakaian preman, menggunakan mobil
kijang berwarna biru tua dan dikawal oleh satu orang anggota polisi berseragam
dengan sepeda.
Pada saat tiba di bandara Sentani Jayapura, Tim Koalisi
langsung menanyakan kedua orang pengawal (serse Polresa Jayawijaya) yang
mendampingi tersangka: ”Tersangka mau dibawa ke Jayapura dalam rangka apa?”.
Kedua anggota Serse tersebut menjawab: “tidak tahu”.
Sungguh aneh, karena sebelum pengalihan tersangka ke
Jayapura, Tim Koalisi telah bertemu Kapolres dan Serse di Wamena untuk
membicarakan proses pendampingan guna pemeriksaan dan telah disepakati bersama
dengan Serse polres untuk dilakukan BAP pada hari Kamis tanggal 1 Mei 2003,
ternyata pada tanggal 29 April Tim Koalisi berangkat ke Jayapura dan pada saat
bersamaan juga Polres Jayawijaya mengalihkan tersangka Maikel Heselo ke
Jayapura.
Adapun berbagai tindakan Kapolres Jayawijaya yang nampaknya
turut menghalangi Tim Koalisi dalam upayanya untuk bertemu para tersangka di
tahanan Polres Jayawijaya, Wamena yakni :
56
Dalam pertemuan kedua
pada hari Rabu tanggal 23 April 2003 (pagi), Tim Koalisi berusaha bertemu
Kapolres untuk keperluan pendampingan para tersangka dan salah satu pernyataan
dari Kapolres bahwa “LSM kalau ada masalah selalu menyudutkan Polisi dengan isu
HAM”. Sikap yang ditunjukkan melalui pernyataan tersebut turut membatasi Tim Koalisi
untuk bertemu para tersangka.
Kebijakan Kapolres yang
melakukan penunjukkan Penasehat Hukum oleh Polisi kepada Sdr. Fantrisno, SH
turut menghalangi Tim Koalisi dalam upayanya mendampingi para tersangka.
Padahal Sdr. Fantrisno, SH sesungguhnya telah melebur diri bersama Penasehat
Hukum Tim Koalisi. Kapolres tetap bersikeras agar harus ada pembicaraan dengan
Penasehat Hukum yang dutunjuk barulah Tim Koalisi dapat bertemu dengan para
tersangka.
Pada hari Minggu
tanggal 27 April 2003 Tim Koalisi pada akhirnya bertemu dengan Sdr. Fantrisno
dan Kapolres, bertempat di kediaman Kapolres di Wamena. Namun setelah
pembicaraan ini, Tim Koalisi tetap saja tidak bisa bertemu para tersangka;
bahkan banyak pernyataan Kapolres yang sebenarnya masih bernada ketidaksetujuannya
kepada niat Tim untuk bertemu dan menyerahkan Surat Kuasa untuk ditandatangani
para tersangka. Pernyataan Kapolres: “ibarat saya lagi hidup dalam sarang
penyamun, karena diseluruh kampung di Wamena ini banyak penjahat-penjahat yang
akan dikejar dan ditangkap sehingga ada kemungkinan ratusan pelaku akan
ditangkap”.
Senin, tanggal 28 April
2003, Tim Koalisi berusaha lagi bertemu Kapolres, meminta ijinnya untuk dapat
bertemu dengan para tersangka. Namun tim tetap tidak mendapat ijin. Tim hanya diijinkan
bertemu dengan tersangka MICHAEL HESELO yang akhirnya dapat menandatangani
Surat Kuasa Khusus untuk pendampingan hukum.
Kebijakan Kapolres
lainnya yang dinilai berupaya menghalangi pendampingan hukum terhadap tersangka
adalah pengalihan penahanan tersangka Michael Heselo ke Polda Papua pada 29
April 2003 yang sama sekali tidak diberitahukan kepada Penasehat Hukum dari Tim
Koalisi LSM, padahal tersangka telah menandatangani Surat Kuasa pada hari
sebelumnya.
VII.C. Pertemuan dengan Kepala Kejaksaan Negeri Wamena,
Bapak Rumbrar, SH.
Pertemuan berlangsung pada hari Kamis tanggal 17 April 2003
di Kantor Kejaksaan Negeri Wamena. Penjelasan dari Kepala Kejaksaan bahwa
pihaknya telah memakamkan korban penembakan di Kodim dengan inisial Erman Murib
alias Titus Murib, pada hari Sabtu tanggal 12 April 2003. Korban telah
dibiarkan di RSUD Wamena selama seminggu sejak penembakan tanggal 4 April.
57
Dari keterangan Kepala Kejaksaan, dalam gelar perkara dengan
pihak kepolisian telah diputuskan bahwa para tersangka dikenai tuduhan pasal
Makar 106 KUHP yakni “ Kejahatan terhadap Negara dan Ketertiban Umum”. Tuduhan
makar tersebut dikaitkan dengan tindakan penyerangan dan perampasan senjata
dengan alat bukti permulaan diantaranya berupa 3 pucuk senjata yang didapat
kembali pada hari Sabtu, 5 April di Desa Napua, Distrik Wamena Kota.
Bahwa telah nampak terjadi kesalahan prosedur penanganan
para tersangka, karena ke enam tersangka tersebut seharusnya sejak ditangkap
dan ditahan di Kodim sebelum 1 x 24 jam sudah harus diserahkan kepada pihak
yang berwenang yaitu pihak Kepolisian Republik Indonesia. Hal yang sama juga
terjadi pada saat mereka berada di Tahanan Kepolisian Jayawijaya Wamena,
terjadi pelanggaran KUHAP yaitu perlindungan terhadap hak-hak mereka untuk bebas
dan merdeka memberikan keterangan kepada pihak penyidik untuk kepentingan
berita acara pemeriksaan. Namun ternyata para tersangka harus menghadapi
tindakan-tindakan penyiksaan di kepolisian.
VII. D. UPAYA MENDAMPINGI PARA TERSANGKA MILITER
Disamping usaha dari Tim Koalisi untuk memberikan bantuan
pendampingan hukum terhadap para tersangka sipil yang sedang ditahan di tahanan
Polres Wamena dan satu orang tersangka yang sedang ditahan di Polda Papua, tim
merasa perlu juga memberikan bantuan pendampingan hukum kepada sembilan orang
tersangka militer asal Kodim 1702/Wamena yang saat ini ditahan oleh Pomdam
Trikora, di Jayapura.
Kepada istri-istri dari para tersangka militer di Wamena,
tim meminta kesediaan mereka untuk menandatangani Surat Pernyataan yang bertujuan
memberikan kuasa kepada Penasehat Hukum Tim Koalisi LSM untuk memberikan
pendampingan hukum selama proses hukum yang akan dilalui oleh ke-sembilan
tersangka miuliter ini (suami mereka). Namun dalam perkembangannya pihak Kodim
Wamena kemudian menghalangi upaya dimaksud dengan cara, telah mengambil dengan
paksa surat pernyataan bermeterai yang sudah ditandatangani tujuh (7) dari
antara istri para tersangka tersebut dan surat pernyataan ini masih ditahan
pihak Kodim Wamena hingga disusunnya laporan ini.
Berikut adalah kronologi penyitaan surat pernyataan dimkasud
:
Surat Pernyataan asli yang dititipkan oleh seorang anggota
Koalisi LSM di Wamena kepada Pdt. Primus Kogoya, pada pagi hari tanggal 5 Mei
2003, diambil secara paksa oleh seorang Intel Kodim yang datang ke rumah Bp.
Pdt. Kogoya dengan menyatakan bahwa pengambilan tersebut atas perintah Dandim
Wamena. Identitas anggota intel ini tidak diketahui. Kemudian pada tanggal 7
Mei 2003, jam 19.00 wit, enam anggota TNI dari Kodim Wamena datang ke Gereja Baptis
Sion dan menanyakan seputar keterlibatan Pdt. Kogoya dalam Tim
58
Koalisi, khususnya dalam membantu pengedaran surat kuasa
tersebut untuk ditandatangani keluarga dari sembilan tersangka militer.
Kemudian pada tanggal 8 April 2003 jam 09.00 wit, satu orang anggota TNI datang
ke kompleks Gereja Baptis Sion dan membawa Pendeta Primus Kogoya ke Kodim
Wamena. Dirinya ditahan dan diperiksa di Kodim hampir sehari lamanya dan
Pendeta Primus baru dipulangkan ke rumah pada hari Kamis, 9 Mei 2003 jam 13.00
wit/waktu Wamena. Sedangkan surat pernyataan yang diambil dengan paksa pada dua
hari sebelumnya itu, belum dikembalikan hingga saat ini.
59
BAGIAN VIII
BEBERAPA KESIMPULAN AWAL
Pertama-tama perlu dicatat bahwa hasil pemantauan Tim
Koalisi di lapangan dalam kasus penyerangan gudang senjata Kodim 1702/Wamena
pada 4 April 2003 lalu ini, merupakan suatu upaya tahap awal yang masih perlu
dilengkapi dengan data-data pendukung lainnya. Namun suatu gambaran awal
tentang kasus tersebut sudah ada dan merupakan suatu dasar yang kuat untuk
mengajukan secara bertanggungjawab sejumlah pertanyaan serta rekomendasi yang
bisa menjadi bahan pertimbangan sejumlah instansi terkait.
VIII.A. SEJUMLAH PERTANYAAN DASAR
[1] Walau terdapat suatu pola tindak lanjut yang sangat
menonjol berupa operasi penyisiran oleh TNI dan Polri, sebetulnya sasaran dari
operasi itu tidak berdasarkan suatu investigasi obyektif yang semestinya
mendahului operasi lapangan apapun. Nampak bahwa operasi penyisiran hanya
didasarkan pada beberapa indikasi awal yang menyimpulkan bahwa pelaku
penyerangan gudang senjata adalah “kalangan OPM/TPN” yang dibantu unsur intern
TNI. Namun identitas pelaku tidak dispesifikasi dengan baik sehingga masyarakat
umum mudah dijadikan sasaran operasi penyisiran; walau mereka sebenarnya tidak
tahu-menahu mengenai rencana penyerangan, apalagi jauh, dan kemungkinan besar
tidak terlibat dalam penyerangan tersebut. Pertanyaannya adalah: mengapa tidak
diadakan suatu investigasi awal oleh pihak yang berwajib, dalam hal ini aparat
Polisi? Kenapa dibiarkan bahwa sasaran operasi penyisiran begitu luas bahkan
terkesan kabur sehingga menimbulkan penderitaan serius pada masyarakat yang tak
bersalah ?
[2] Muncul juga pertanyaan: mengapa aparat Polisi tidak
menjalankan tugasnya sebagai instansi utama yang wajib untuk secara independen
menjalankan suatu investigasi yang profesional sebelum menetapkan siapa-siapa
yang perlu dikejar karena diduga sebagai pelaku? Ada kesan bahwa dari awalnya
aparat Polisi sudah langsung bergabung dengan TNI dalam aksi pengejaran dan
penyisiran; penggabungan kerja semacam ini jelas membingungkan siapa saja.
Akibatnya juga bahwa sejumlah orang yang ditangkap dan ditahan ternyata bisa
ditahan di Kodim selama 4 sampai 5 hari, sedangkan menurut ketentuan hukum yang
berlaku (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), aparat militer tidak berhak
melakukan penahanan terhadap warga sipil, kecuali pihak kepolisian. Bahkan jika
pihak militer melakukan penangkapan terhadap warga sipil, maka
selambat-lambatnya 1 x 24 jam harus diserahklan kepada pihak Polisi. Maka sikap
Polisi dalam kasus Wamena ini dapat dipertanyakan dengan serius mengingat
institusi penegak hukum tersebut tidak serius mengambil sikap dalam
permasalahan semacam ini.
60
[3] Yang menambah rawan upaya selanjutnya dari kasus
penyerangan ini adalah keterlibatan kelompok-kelompok milisi yang ternyata
dikerahkan bersama TNI dan Polisi. Pola ini merupakan suatu varian atas pola
yang dipakai pada tahun 1977 sewaktu masyarakat biasa yang secara tradisional
bermusuhan dengan kelompok masyarakat di wilayah lain diandalkan dalam
pengoperasian militer. Sudah tentu bahwa keterlibatan kelompok-kelompok milisi
akan menimbulkan suatu ketegangan tambahan di tengah masyarakat di Kabupaten
Jayawijaya dan dengan mudah dapat dikembangkan kearah suatu ‘perang saudara’
(konflik horisontal). Kenapa dan dengan tujuan apa aparat keamanan melibatkan
kelompok-kelompok ini?
[4] Dari kesaksian-kesaksian mengenai operasi penyisiran
yang terjadi menjadi jelas bahwa operasi tersebut dijalankan secara sembarang;
siapa saja yang diperkirakan saja terlibat dalam kegiatan TPN/OPM menjadi
sasarannya; tidak terbatas lagi pada mereka yang diduga kuat terlibat dalam
pembongkaran gudang senjata di Kodim Wamena. Ada kesan kuat bahwa pola operasi
ini mash dilaterbelakangi pula oleh suatu stigmatisasi umum (warga Pegunungan
Tengah adalah penjahat/pengacau), sampai pelaksana operasi penyisiran tersebut
merasa berhak untuk memperlakukan masyarakat lokal dengan tidak wajar, dalam
arti, jauh dari penghargaan terhadap martabat dan hak dasarnya sebagai seorang
manusia. Pola operasi penyisiran menunjukkan suatu sikap arogansi yang
luarbiasa, suatu sikap intimidasi, dan suatu kecenderungan untuk menghancurkan
fisik serta mental siapa saja yang tidak memberikan jawaban yang “diharapkan
oleh petugas operasi penyisiran”; apalagi harta milik masyarakat setempat tidak
luput dari keganasan pelaku-pelaku operasi penyisiran ini. Apa yang menjadi
pijakan dari gaya kerja demikian? Dasar hukum yang mana yang memberikan
kewenangan kepada pihak yang melakukan operasi penyisiran sehingga bertindak
semacam ini ?
[5] Walau Tim Koalisi terus dihalangi untuk bertemu dengan
para tersangka, dari kesaksian sejumlah korban penyiksaan sudah dapat ditarik
kesimpulan bahwa mereka yang ditangkap dan ditahan (entah dalam jangka waktu
yang lama, entah untuk sementara waktu) tidak luput dari suatu perlakuan yang
sangat ngerikan dan tidak manusiawi. Malahan warga masyarakat yang ternyata
tidak tahu-menahu dengan kejadian di Wamena bisa disiksa secara luar biasa
sebelum dilepaskan lagi. Dengan demikian nampak bahwa aturan hukum yang
memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang sebagai warga negara, tidak
dihiraukan oleh para petugas yang melakukan interogasi. Maka, sikap dan
tindakan yang ditunjukkan oleh aparat keamanan (baik Polisi maupun TNI)
semestinya dipersoalkan. Dari beberapa ungkapan para korban dapat disimpulkan
juga bahwa pelaksana-pelaksana penyiksaan sendiri sadar bahwa tindakan mereka
tidak dapat dibenarkan, maka mereka memberikan peringatan kepada korban untuk
“tidak mempersoalkan penyiksaan yang sudah dialaminya”.
[6] Walau pihak TNI telah menyatakan niatnya untuk
menghindari pemahaman yang simpang siur berhubungan dengan kematian Sdr.
Yapenas Murib, suatu investigasi sederhana saja sudah memberikan dasar yang
kuat untuk mempertanyakan keterangan kematian yang
61
diberikan oleh aparat TNI. Mengapa pihak TNI tidak meminta
suatu tindakan autopsi yang mendalam guna menghindari suatu pemahaman yang
simpang siur? Mengapa diterangkan dalam sejumlah kesempatan bahwa korban ini
meninggal di rumah sakit; sedangkan jelas bahwa para tenaga medis di rumah
sakit membenarkan jika korban dibawa ke rumah sakit sudah dalam keadaan
meninggal ?
[7] Yang menonjol juga bahwa Pemerintah Sipil sampai saat
ini hampir tidak terdengar sikap dan aksi nyata mereka atas permasalahan yang
dialami masyarakat banyak di Wamena ini. Ternyata pihak sipil hanya ‘menonton’
nasip masyarakatnya sendiri yang menjadi korban dari suatu operasi yang sulit
membedakan antara warga yang bersalah dan warga yang tidak bersalah. Ada
kepentingan apa pada pemerintah sipil yang mengambil sikap ‘diam? Atau: ini
merupakan gambaran ketidakberdayaan pemerintah setempat?
VIII.B. SEJUMLAH REKOMENDASI
Mempelajari semua bahan yang sudah diupayakan dikumpulkan
oleh Tim Koalisi selama dua minggu berada di Wamena dan sekitarnya, Tim Koalisi
menyerukan kepada instansi-instansi yang berwewenang untuk:
[1] menahan diri selama belum ada suatu investigasi yang
profesional berhubungan dengan kejadian 4 April 2003 ini,
[2] menghentikan semua bentuk operasi penyisiran di Wamena
dan sekitarnya,
[3] memegang teguh pada peraturan hukum yang berlaku dalam
hubungannya dengan kepentingan perlindungan hukum bagi para tersangka,
[4] mengizinkan dan tidak menghalang-halangii suatu upaya
pendampingan hukum bagi para tersangka sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,
[5] mengundang suatu Tim Investigasi yang mampu menjalankan
tugasnya secara obyektif, transparan dan profesional, dan untuk itu suatu Tim
Khusus perlu disusun dibawah naungan KomNas HAM.
[6] meminta perhatian pimpinan TNI di jajaran Kodam Trikora
dan Kodim 1702 Wamena agar sesegera mungkin membuka wilayah Kwiyawage bagi
kunjungan dan pengamatan suatu tim kemanusiaan termasuk bantuan kemanusiaan
bagi masyarakat setempat yang kini memilih mengungsi ke tempat lain. Wilayah
Kwiyawage juga perlu dibuka bagi kehadiran Tim Investigasi Independen
sebagaimana dimaksudkan pada poin no. 5 diatas.
62
LAMPIRAN - LAMPIRAN
63
PRESS RELEASE BERSAMA
Jayapura, 4 April 2003
oleh
KOALISI LSM UNTUK PERLINDUNGAN DAN PENEGAKKAN HAK ASASI
MANUSIA DI PAPUA
Berhubungan dengan:
PENYERANGAN KODIM 1702/WAMENA MENGHANCURKAN UPAYA PERDAMAIAN
DI PAPUA, ULAH DAN SKENARIO SIAPA ?
Kampanye Perdamaian yang gencar-gencarnya dilaksanakan oleh
semua Pihak (Pemerintah, DPRD, Polda Papua dan Komponen Masyarakat Papua) di
Tanah Papua, kini ternoda dan dirobek-robek oleh ulah sekelompok orang yang
tidak bertanggung jawab. Dimana pada hari Jumat (4/4) dini hari pukul 01.00 WP,
Wamena kembali digemparkan oleh ulah sekelompok orang yang tidak dikenal dengan
menyerang Markas Komando Distrik (KODIM) 1702/Wamena yang jaraknya 200 meter
dari Kantor Bupati Wamena dan 400 meter dari Pos Kostrad 413 Samber Nyawa /
Jawa Tengah. Dalam penyerangan tersebut telah menewaskan 2 (dua) anggota Kodim
yakni Lettu TNI AD Napitupulu dan Prajurit Ruben Kana (Penjaga Gudang Senjata)
dan juga melukai satu anggota TNI AD yang sekarang sedang menjalani perawatan
medis di Rumah Sakit Umum Daerah Wamena. Dari pihak penyerang 1 orang anggota penyerang
tewas dan 1 orang mengalami luka-luka. Kelompok penyerang diduga telah membawa
lari sejumlah pucuk senjata dan amunisi.
Kami Koalisi LSM untuk Perlindungan dan Penegakan HAM di
Papua menyatakan turut berduka atas peristiwa yang menimpa para korban dan
memohon agar keluarga yang ditinggalkan mendapat kekuatan dari Tuhan.
Siapapun pelakunya dan apapun motifnya yang pasti perbuatan
penyerangan tersebut adalah perbuatan TERKUTUK dan TIDAK BERPERIKEMANUSIAAN.
Peristiwa tersebut dikuatirkan memiliki tujuan-tujuan tertentu untuk
menciptakan konflik di Papua dan tidak menghendaki adanya perdamaian yang
sedang dibangun di Tanah Papua.
Untuk itu melalui Press Release ini kami menyatakan dengan
tegas :
Agar aparat keamanan
dapat melakukan pendekatan PROFESIONAL secara hukum dengan tetap memperhatikan
asas praduga tak bersalah dan menghormati hak asasi manusia untuk mengusut dan
mengetahui secara jelas siapa pelaku dan motif apa dibalik penyerangan
tersebut.
bahwa selain pihak
kepolisian, sangat diharapkan dalam penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut
pihak Pemda dan DPRD setempat supaya turut serta berperan secara pro-aktif
dalam memberikan masukan kepada Aparat atau setidak-tidaknya berkoordinasi
denan dikoordinasi dengan pihak keamanan
64
Kepada Yth. :
Presiden Republik Indonesia
Ibu Megawati Sukarnoputri
Di
J A K A R T A
Perihal : Pernyataan sikap para Pemimpin Agama di Papua
Penyerangan markas Kodim 1702 Wamena pada tanggal 4 April
2003 pukul 01.00 WIT, oleh sekelompok orang tak dikenal, merupakan tragedi
kemanusiaan yang menggemparkan Wamena dan kita semua. Penyerangan itu
mengakibatkan tewasnya dua anggota Kodim, yakni Lettu TNI AD Napitupulu dan
Sertu Ruben Lena (penjaga gudang senjata) dan terlukanya seorang anggota TNI AD
hingga parah serta salah seorang penyerang yang bernama Islae Murip meninggal.
Reaksi selanjutnya dari pihak keamanan ialah adanya penyisiran dalam rangka
pencarian senjata dan amunisi yang dibawa lari penyerang, termasuk penangkapan
dan penahanan di kalangan masyarakat sipil, dengan akibat timbul ketakutan dan
keresahan di masyarakat.
Menanggapi peristiwa itu serta dampaknya yang dirasakan
dalam suasana hidup masyarakat, kami, para Pemimpin Agama-Agama menyampaikan
sikap dan saran sebagai berikut :
Kami amat menyesalkan
dan mengutuk tindakan kekerasan itu yang tidak berperikemanusiaan dan merusak
upaya kita semua dalam membangun budaya damai di Tanah Papua.
Kami menyatakan rasa
duka yang mendalam untuk para korban dan keluarganya. Kami berdoa untuk mereka
semua.
Kami mendesak aparat
keamanan agar dalam mencari pelaku-pelaku, mereka bertindak secara persuasif
dan profesional serta tidak mencurigai, apalagi menghukum, seluruh masyarakat
di wilayah kejadian. Hendaknya peristiwa itu tidak dijadikan alasan untuk menambah
pasukan dan kembali menjadikan Papua sebagai satu Daerah Operasi Militer (DOM).
Kami mendesak
pemerintah Republik Indonesia agar selekas mungkin mengungkapkan pelaku
peristiwa ini maupun peristiwa-peristiwa sebelumnya (penyerangan Agustus 2002
di Timika-Tembagapura, penyerangan di Wutung Desember 2002). Hal itu perlu demi
penegakkan keadilan dan peniadaan suasana curiga-mencurigai di masyarakat.
Kami meminta kepada
semua pihak yang terkait agar memberikan perlindungan hukum dan jaminan
keamanan kepada petugas-petugas kemanusiaan di Wamena dan di semua wilayah
konflik di Papua.
Kami mewujudkan
keprihatinan kami dengan mendukung tim kemanusiaan Wamena yang tergabung dalam
Koalisi LSM untuk Papua yang terbentuk pada 4 April 2003 dalam kegiatannya untuk
memantau situasi, mengadakan penyelidikan, memberikan pendampingan hukum dan
kemanusiaan lainnya ke wilayah terjadinya peristiwa itu.
Atas perhatian dan dukungan semua pihak, kami mengucapkan
terima kasih.
Dikeluarkan di Jayapura pada Hari Kamis, 10 April 2003.
65
Hormat Kami,
Para Pemimpin Agama-Agama di Papua
Pdt. Andreas Ayomi, M.Th Drs. H. Zubaer D. Hussein
Ketua Sinode GPDP Ketua MUI Papua
Pdt. C.Berotabui, M.Th Pdt.Geradus Adii. M.Div
Sekum Sinode GKI di Tanah Papua Ketua Wilayah GKII Papua
Drs. I Nyoman Sudha Dr. Gunawan Ingkokusumo
Ketua PHDI Propinsi Papua Wakil Ketua MBI Jayapura
Socratez Sofyan Yoman Mgr. Leo Laba Ladjar,OFM
Ketua Umum Gereja-Gereja Baptis Papua Uskup Jayapura
Tembusan Kepada Yth. :
1. Menteri Koordinator Sosial Politik dan Keamanan RI di
Jakarta
2. Kepala Kepolisian RI di Jakarta
3. Gubernur Papua di Jayapura
4. Ketua DPRD Provinsi Papua di Jayapura
5. Pangdam XVII/Trikora di Jayapura
6. Kapolda Papua di Jayapura
7. Bupati Jayawijaya di Wamena
8. Kapolres Jayawijaya di Wamena
9. Koalisi LSM untuk Kemanusiaan Papua di Jayapura, Jakarta
dan Wamena
10. Mitra kerja
67
GEREJA KEMAH INJIL INDONESIA WILAYAH PAPUA
D A E R A H P Y R A M I D
PENOLAKAN SIKAP TERHADAP INSIDEN DITEMUKANNYA DUA PUCUK
SENJATA DAN RIBUAN AMUNISI DI KAMPUNG MORAGAME, DESA PERABAGA
Nomor : SPS/GKII/DP-2003 Pyramid, 26 - 04 - 2003
Lampiran :
Perihal : Pernyataan Sikap Masyarakat
Kepada Yth. :
Bapak Dandim 1702 Jayawijaya
Di-
W a m e n a
Penyerangan markas Kodim 1702 Wamena pada Tgl 4 April 2003
oleh sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab mengakibatkan tewasnya dua
anggota Kodim dengan seorang penyerang adalah salah satu insiden yang
mengejutkan seluruh masyarakat Kabupaten Jayawijaya serta lebih khusus
masyarakat dan Tripika Distrik Assologaima.
Reaksi selanjutnya dari pihak TNI dalam rangka perncarian
sejumlah Senjata dan Amunisi yang dibawa lari oleh penyerang, maka pada tanggal
21 Apriil 2003 pukul 05.30 WIT adalah mengejutkan masyarakat di tiga Desa (Desa
Perabaga, Yonggime dan Alogonik) dengan membunyikan peluru senjata dan seluruh
masyarakat lari dan bersembunyi di rumput-rumput.
Dalam hal ini kami sangat menyesal dan melaporkan beberapa
tindakan yang diperbuat oleh anggota TNI DANDREM Jayapura dibawah pimpinan Agus
Mulyadi, antara lain :
1. Merusak pintu-pintu honai dan rumah sehat milik
masyarakat dan Guru SD INPRES Alogonik, lokasinya di sebelah selatan Desa
Alogonik.
2. Mengambil uang Rp 300.000 dan membakar ijazah milik salah
seorang anggota Medis (NICO TABUNI) di Desa Alogonik.
3. Mengambil uang Rp 350.000 milik kepala suku Eli Tabuni,
di desa Alogonik.
4. mengambil alat kerja (sekop, parang dan kapak) tetapi
sempat dikembalikan ketika dilaporkan kepada Komandan, juga milik masyarakat di
Desa Alogonik.
5. Ketika pencarian senjata dan amunisi, kepada masyarakat
diajukan pertanyaan yang keliru dan tidak memberi jawaban kepada anggota TNI
maka muka mereka ditutupi dengan baju dan dipukul, ditendang bahkan menodong
dengan senjata sambil membunyikan senjata serta menodong dengan pisau sangkur
kepada warga masyarakat di Desa Alogonik dan Yonggime.
Kemudian berita didalam CEPOS (Harian Cenderawasih Pos)
tanggal 22 April 2003 mengenai Dua Pucuk Senjata dan ribuan Amunisi ditemukan
di Desa Moragaima, kami
67
68
TOLAK karena tidak disaksikan oleh Aparat Desa, tokoh agama,
tokoh Masyarakat (Kepala Suku) dan juga oleh masyarakat setempat.
Walaupun demikian kami dari berbagai komponen di masyarakat
terus memanjatkan Doa kepada TUHAN agar semua alat negara yang dibawa lari oleh
kelompok separatis dapat kembali dan diharapkan juga bila pelakunya ditangkap
dapat dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
Demikian pernyataan sikap kami, atas perhatian dari semua
pihak kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Para Aparat Pemerintah Desa dan Tokoh Agama
Kepala Desa Yonggime Kepala Desa Perabaga Kepala Desa
Alogonik
BPK. YULIUS WENDA BPK. MARIUS TABUNI BPK. DEREK TABUNI
Tokoh Agama
PDT. TITUS WENDA
Tembusan :
1. Pangdam XVII/Trikora di Jayapura
2. Gubernur Papua di Jayapura
3. Bupati Jayawijaya di Wamena
4. Ketua DPR Jayawijaya di Wamena
5. Kepala Kejaksaan Negeri Jayawijaya di Wamena
6. Koalisi LSM untuk Kemanusiaan Papua di Wamena
7. Danramil Wilayah Distrik Assologaima di Kimbim
8. Arsip
68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar